|
artikel
Jum'at 9 Februari 2001 07.13 WIBKiat Menjemput Maut Oleh : Ir. Drs. Abu Ammar, MM Jakarta PeKa Online, Alkisah menurut sirah (sejarah kehidupan Nabi), pernah Nabi Ibrahim AS berdialog dengan malaikat maut soal sakaratul maut. Nabi Ibrahim bertanya kepada malaikat maut, 'Dapatkah engkau memperlihatkan rupamu saat engkau mencabut nyawa manusia yang gemar berbuat dosa?' Malaikat menjawab pendek,"Engkau takkan sanggup". "Aku pasti sanggup", sanggah beliau. "Baiklah, berpalinglah dariku", pinta sang malaikat. Saat Nabi Ibrahim berpaling kembali, dihadapannya telah berdiri sesosok berkulit legam dengan rambut berdiri, berbau busuk dan berpakaian serba hitam. Dari hidung dan mulutnya tersembur jilatan api. Seketika itu pula Nabi Ibrahim jatuh pingsan! Ketika tersadar kembali, berkata beliau kepada sang malaikat, "Wahai malaikat maut, seandainya para pendosa itu tak menghadapi sesuatu yang lain dari wajahmu disaat kematian-Nya, niscaya cukuplah itu menjadi hukuman untuknya". Di kesempatan lain, kisah yang diriwayatkan oleh 'Ikrimah dari Ibn 'Abbas ini, Nabi Ibrahim meminta Malaikat Maut mengubah wujudnya saat mencabut nyawa orang-orang beriman. Dengan mengajukan syarat yang sama kepada Ibrahim, sang malaikat pun mengubah wujudnya. Dihadapan Nabi yang telah membalikkan badanya kembali, telah berdiri seorang pemuda tampan, gagah, berpakaian indah yang darinya tersebar harum wewangian. Nabi Ibrahim kemudian berkata: "Seandainya orang beriman melihat rupamu disaat kematiannya, niscaya cukuplah itu sebagai imbalan amal baiknya". Dari nukilan kisah itu, apakah bisik-bisik misteri tentang penampakkan malaikat maut menjelang ajal seseorang benar adanya? Dalam pergaulan sehari-hari, kadang sering kita mendengar dari mulut ke mulut, misalnya salah satu anggota keluarga dari orang yang tengah menghadapi maut bercerita bahwa saudaranya itu melihat sesuatu. Apakah itu berupa bayangan hitam, putih atau hanya gumaman dialog mirip seperti orang yang tengah mengigau. Namun yang pasti dari beberapa riwayat, selain Nabi Ibrahim, Nabi Daud AS dan Nabi Isa AS juga pernah dihadapkan pada fenomena penampakkan malaikat maut itu. Kisah prasakaratul maut itu belum seberapa bila dibandingkan dengan sakaratul maut itu sendiri. Sakaratul maut adalah sebuah ungkapan untuk menggambarkan rasa sakit yang menyerang inti jiwa dan menjalar ke seluruh bagian sehingga tak satupun bagian yang terbebas dari rasa sakit itu. Malapetaka paling dahsyat di kehidupan paripurna manusia ini memberi rasa sakit yang berbeda-beda pada setiap orang. Untuk menggambarkan rasa itu, pernah Rasulullah SAW berkata. "Kematian yang paling mudah adalah serupa dengan sebatang duri yang menancap di selembar kain sutera. Apakah duri itu dapat diambil tanpa membawa serta bagian kain sutera yang terkoyak?" Tapi di bagian lain Rasulullah seperti yang dikisahkan oleh Al-Hasan pernah menyinggung soal kematian, cekikan dan rasa pedih. "Sakitnya sama dengan tiga ratus tusukan pedang," sabda beliau. Diriwayatkan pernah Nabi Ibrahim ketika ruhnya akan dicabut, Allah SWT bertanya kepada Ibrahim, "Bagaimana engkau merasakan kematian wahai kawanku?" Beliau menjawab "Seperti sebuah pengait yang dimasukkan kedalam gumpalan bulu basah yang kemudian ditarik". "Yang seperti itulah, sudah kami ringankan atas dirimu", firman-Nya. Tentang sakaratul maut, Nabi SAW bersabda, "Manusia pasti akan merasakan derita dan rasa sakit kematian dan sesungguhnya sendi-sendinya akan mengucapkan selamat tinggal satu sama lain seraya berkata: "Sejahteralah atasmu; sekarang kita saling berpisah hingga datang hari kiamat kelak". Tentang sakaratul maut itu Rasulullah SAW sendiri menjelang akhir hayatnya berucap "Ya Allah ringankanlah aku dari sakitnya sakaratul maut" berulang hingga tiga kali. Padahal telah ada jaminan dari Allah SWT bahwa beliau akan segera masuk surga. Mulai detik ini marilah kita komparasikan kekhawatiran beliau yang memiliki tingkat keimanan dan keshalehan sedemikian sempurnanya, dengan kita yang hanya manusia biasa ini. Oleh karenanya kematian mestinya tak perlu menjadi sesuatu yang perlu ditakuti tapi sebaliknya harus senantiasa dirindukan. Jika sesuatu itu begitu dirindukan, logikanya berarti ingin cepat-cepat pula ditemui. "Barangsiapa membenci pertemuan dengan Allah, maka Allah akan benci bertemu dengannya" sabda Rasulullah SAW. Namun bukan berarti pula kita dianjurkan untuk selalu mengharap kematian, karena tentang hal ini seperti diriwayatkan Bukhari, Rasulullah SAW sendiri juga pernah bersabda, "Janganlah seorang diantaramu mengharap kematian." Cukuplah sepanjang hayat ini, kita selalu mengingat-ingat maut. Caranya dengan senantiasa tanpa lelah memerangi hawa nafsu, merenung, atau melindungi hati dari silaunya kemegahan duniawi. Untuk sekedar mengingat maut saja, Allah telah mendatangkan pahala dan kebaikan. Ikut bertakziah mendoakan kematian orang lain, menengok jenazah atau ikut menyaksikan penguburan misalnya, bukankah ritual itu mendatangkan pahala?. Orang yang mengingat maut dua puluh kali dalam sehari semalam, pesan Nabi Muhammad SAW, di hari akhir nanti akan dibangkitkan bersama-sama dengan golongan syuhada. Kematian Dan Alam Kubur Semua anggota badan (telinga, hidung, tangan, mata dan hati/kalbu) merupakan alat-alat yang digunakan ruh untuk melihat, mendengar, atau merasakan sesuatu. Sedangkan perasaan gembira, senang, bahagia, duka dan nestapa adalah bagian yang terkait dengan ruh itu sendiri. Kematian sama dengan hilangnya segala kemampuan yang timbul sebagai sebab akibat keterkaitan ruh dengan anggota-anggota tubuh. Lenyapnya kemampuan anggota tubuh itu seiring dengan matinya jasad, hingga tiba saatnya nanti ruh dikembalikan (baca: difungsikan) kepada jasadnya. Seringkali kita mendengar bahwa ruh akan dipersatukan kembali dengan jasad (baca: manusia dibangkitkan kembali) hingga datangnya hari kiamat kelak bukan? Logikanya, menurut Al Ghazali dapat dipersamakan dengan hilangnya fungsi salah satu anggota badan disebabkan karena telah rusak atau hancurnya anggota badan itu. Urat-urat yang berada dalam anggota tubuh itu tidak dapat dialiri lagi oleh ruh. Jadi ruh yang memiliki daya pengetahuan, berfikir dan merasa itu tetap ada dan memfungsikan sebagian anggota tubuh lain namun tak mampu memfungsikan sebagian yang lain. Jadi kematian tak berarti pula musnahnya ruh atau hilangnya daya cerna ruh, bukti tentang ini dapat direnungi pada kematian para syuhada dalam surat Ali Imran ayat 169 : "Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki ". Kematian dapat pula berarti kekalnya kebahagiaan atau kesengsaraan. Rasulullah SAW bersabda: "Kuburan itu dapat menjadi salah satu jurang neraka atau syurga" (HR Tarmidzi). Penjelasannya dilanjutkan kembali oleh Rasulullah dalam sabda-nya yang lain,"Jika salah seorang dari kalian mati, pagi dan petang akan diperlihatkan kedudukannya (kelak). Jika ia termasuk penghuni syurga maka tempat duduknya di tempatkan di surga, dan jika ia termasuk penghuni neraka maka tempatnya di neraka. Dan kepada mereka dikatakan,"Inilah tempat kalian hingga tiba saatnya dibangkitkan untuk menemui Dia pada hari kebangkitan." (HR Bukhari). Sedang, tentang kondisi alam kubur digambarkan oleh Al-Ghazali mengutip beberapa ulama salaf (seperti 'Ubaid bin 'Umair Al-Laitsi, Muhammad bin Shabih, Yazid Al-Ruqasyi, dan Ka'b (Al-Ahbar), lebih mencekam lagi. Bahwa ruh orang yang telah berada dalam alam lain itu dapat mendengar perkataan ruh lain, bahkan orang yang masih hidup. Hal itu pernah dibuktikan oleh Rasulullah SAW saat beliau bertanya tentang janji Allah, kepada jawara-jawara Quraisy yang tewas terbunuh dalam perang Badar. Dan Beliau ditanya oleh para sahabat "Wahai Rasulullah ! Apakah engkau berseru kepada mereka, sedangkan mereka sudah mati ?"Beliau menjawab,'Demi Allah yang jiwaku berada ditangan-Nya, mereka mendengar kata-kataku lebih jelas daripada kalian. Hanya saja mereka tak mampu menjawab." Dari Muhammad bin Shabih pernah diriwayatkan pula, jenazah yang telah diletakkan di liang lahat/kubur akan disapa oleh sesama ahli kubur tetangganya seraya melemparkan beberapa pertanyaan, seperti ini: "Wahai orang yang telah meninggalkan sanak saudara dan handai taulan, tidak pernahkah engkau belajar dari kami ? Pernahkah terlintas engkau akan seperti kami ? Tidakkah engkau melihat bahwa kami tak bisa lagi beramal sedangkan engkau pernah memiliki kesempatan ?" dan sebagainya. Mengingat Maut = Memproduktifkan Hidup Analoginya, manusia golongan ini dapat dipersamakan sebagai orang bodoh yang telah mensia-siakan modal hidup dan menghamburkannya dengan sia-sia. Semakin banyak kesia-siaan yang dilakukan maka tingkat kebodohan kita semakin tinggi. Sebaliknya, orang yang paling cerdas adalah orang yang paling sering mengingat ajal dan paling banyak mempersiapkan diri menghadapi maut. Husnul khotimah adalah suatu karunia Allah SWT yang khusus diberikan kepada manusia. Maka dari itu slogan 'nyeleneh', "muda berfoya-foya, tua kaya-raya, mati masuk syurga" tak berlaku dalam konteks ini. Husnul khotimah itu ibarat sebuah hadiah buat manusia atas upayanya yang sungguh-sungguh menjalankan tugas hidup (baca: beribadah dengan benar dan mengimplementasikan amar ma'ruf nahi munkar) di dunia ini. Seperti mahasiswa yang belajar matia-matian, lalu lulus dengan predikat summa cum laude. Adat manusia biasanya selalu berfikir bagaimana mendapatkan sesuatu itu terlebih dahulu, ketimbang memikirkan dengan cara apa saja sesuatu itu dapat diraih. Dalam kasus husnul khatimah, kita tak bisa langsung bermimpi ingin mendapatkannya karena husnul khatimah itu harus diraih dan dirintis sebelum maut itu datang. Dengan demikian kata-kata mati, harusnya mampu kita hadirkan dalam hati kita setiap hari. Sabda Rasulullah, yang menyatakan bahwa dengan banyak-banyak mengingat maut menjadikan seseorang menjadi makhluk yang produktif, cermat dan selektif adalah benar adanya. Karena setiap pekerjaan yang dilakukannya dianggap sebagai pekerjaan terakhirnya. Karena maut itu bisa datang kapan saja. Sebaliknya, kalau Allah belum memberi izin, mautpun takkan datang. Seperti orang yang berkeinginan bunuh diri di rel kereta api. Sesaat kereta api melintas, ternyata tubuhnya masih utuh. Karena ternyata ia berada di lintasan dengan tiga jalur rel, dan ia tak berdiri di jalur yang dilewati kereta api itu. Dengan selalu mengingat maut, intinya, kematian menjadi semacam bahan bakar agar manusia mampu hidup produktif dan bermanfaat. Ada 4 "selalu" agar manusia memiliki manfaat hidup. Pertama, selalu bermunajat kepada Allah SWT. Kedua, selalu mengevaluasi dan mengintrospeksi diri sendiri. Ketiga, selalu bertafakkur, mengasah diri dan ilmu. Keempat, selalu memenuhi hak hidup, seperti makan, minum, tidur dengan teratur. Jadi sebelum manusia mendekati sakaratul maut, Rasulullah sudah memberi solusi kepada manusia. Jika ajal telah tiba tak perlu kita takut menghadapinya. Maka jadikanlah tidur kita sebagai tidur yang terakhir, shalat yang terakhir, makan sebagai makan yang terakhir, berzakat, infaq dan shadaqah sebagai zakat, infaq dan shadaqah yang terakhir, bayangkan bahwa hari esok, kita tak lagi berada di dunia.
|
|