|
artikel
Rabu 7 Februari 2001 08.22 WIBMeniti Tangga-tangga Cinta oleh Budiman Mustofa, Lc Jakarta PeKa Online, Kecintaan, loyalitas dan jiwa pembelaan serta pengorbanan di dalam Islam ada tiga: kepada Allah, kepada Rasulullah dan kepada kaum muslimin umumnya. Tiga tangga kecintaan ini mempunyai hubungan yang paralel. Jika salah satu tangga putus dan tidak utuh berarti iman seseorang belum mencapai tingkatan yang sempurna. Dalam beberapa hadis Rasulullah SAW menyinggung hal tersebut. Dari Anas r.a, nabi SAW bersabda: "Tidaklah sempurna iman seseorang sehingga mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri." (Muttafaq 'Alaih). Dari hadis ini bisa ditarik pesan bahwa cinta kepada sesama saudara muslim dimanapun berada dan apapun warga negaranya adalah tangga pertama menuju cinta Allah. Ini suatu keniscayaan. Dalam hadis lain diriwayatkan: "Tidaklah kalian termasuk orang yang cinta kepadaku hingga hawa kalian mengikuti segala apa (doktrin-doktrin Islam) yang aku bawa". Riwayat lain: "Ada tiga hal yang barangsiapa memilikinya maka ia akan mendapatkan manisnya iman: hendaknya Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai daripada selain keduanya, mencintai seseorang hanya karena Allah dan membenci seandainya ia kembali kepada kekufuran setelah Allah menyelamatkan darinya sebagaimana ia membenci akan dilemparkan ke neraka." (Muttafaq 'Alaih). Hadis tersebut mengisyaratkan adanya konsekuensi bahwa siapa yang cinta kepada Allah dan rasul-Nya berarti harus rela mengesampingkan cintanya kepada yang lain. Dan cinta kepada Allah berarti tangga cinta yang terakhir. Dengan demikian kecintaan dan loyalitas kepada Allah dan rasul-Nya juga harus dinomorsatukan dari kecintaan kepada yang lain. Akan tetapi bukan berarti jika seseorang sudah cinta kepada Allah dan Rasul-Nya tidak perlu lagi menjalin loyalitas kepada yang lain. Justru dengan loyalitas seorang hamba kepada Allah dan rasul-Nya tersebut ia hiasi dengan kecintaan kepada yang lain. Seperti kecintaan kepada saudara, orang tua, anak, suami, istri, harta, tempat tinggal dan lain-lain. Dengan demikian kecintaan kepada selain Allah dan rasul-Nya akan berada selalu dalam naungan ridlo, rahmat dan inayah-Nya. Ia akan diberkahi, dibimbing dan diarahkan serta dijauhkan dari tindak penyelewengan. Ada sebuah rahasia bahwa dalam bahasa iman dikenal istilah setiap orang yang semakin menggebu rasa cintanya justru akan semakin diliputi rasa takut dan harap-harap cemas kepada pihak yang dicintai. Sebab hanya satu yang ia idamkan yaitu ridlonya. Namun sebaliknya ia akan menghilangkan rasa takut, cemas, derita dan bahaya sekalipun yang terkadang tiba-tiba muncul di depan matanya, sampaipun ia harus mengorbankan nyawanya. Contoh yang paling nyata adalah ketakutan malaikat kepada Allah. Kecintaannya justru membuatnya semakin mentaati semua perintah Allah, "la ya'shunallah ma amarahum wayaf'aluna ma yu'marun," mereka tidak pernah maksiat kepada Allah dan mereka selalu mentaati semua perintah-Nya dengan seketika. Sebab mereka tahu dengan pasti apa yang disukai Allah dan apa yang tidak disukai. Demikianlah, tangga-tangga cinta yang harus dilewati oleh seorang yang di hatinya ada iman. Maka cintailah Allah dengan serius nanti akan tumbuh rasa iman. Pupuklah rasa iman tersebut sampai subur, nanti akan timbul rasa takwa (takut). Semakin perkuatlah getaran takwa di kalbu, nanti akan timbul semboyan ihsan (egosentris 'ubudiah) dalam segala hal. Maka naikilah tangga-tangga cinta itu dengan jiwa yang sabar niscaya akan didapati kebahagiaan yang tidak semu yang tidak menyimpan bencana; bahagia dunia dan akhirat. Fastabiqulkhairat.
***
|
|
|
artikel
Kamis 4 Januari 2001 06.35 WIBAl-Qur'an, Ruhnya Kaum Muslimin oleh Muhammad Arif Rahman, Lc *) Jakarta PeKa Online, Pesona Ramadhan tidak terasa menjadi daya tarik tersendiri buat umat Islam untuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah. Hari-hari pada bulan ini terasa lebih sejuk dan damai dari pada bulan-bulan lainnya. Sehingga tidak heran jika ada yang mengibaratkan bahwa bulan Ramadhan sebagai miniatur kehidupan masyarakat Islam. Masjid penuh dengan jamaahnya, amal kebaikan meningkat, shadaqah berlipat, motifasi mencegah kemunkaran dan kemaksiatan, kajian keagamaan marak, gelapnya malam di terangi wajah-wajah berseri bermunajat, aksi-aksi destruktif menurun tajam dan lain-lain. Meskipun diakui juga pada bulan ini produktifitas kerja mayoritas kaum muslimin menurun. Pada bulan Ramadhan sangat terasa kedekatan kita dengan al-Quran. Selain bulan suci ini mungkin kita membacanya hanya sekali waktu saja, apalagi mendalami dan merenungi ayat-ayatnya. Namun pada bulan ini, setiap hari kita hampir tidak pernah lepas untuk membaca al-Quran. Apa yang kita lakukan itu tidak lain adalah mengharap keridhaan dari Allah SWT karena pada bulan Ramahan ini semua amal ibadah yang dikerjakan pahalanya dilipatgandakan. Bulan Ramadhan di mana al-Quran ini diturunkan, menjadi momen yang pantas untuk mengembalikan fungsi al-Quran dalam kehidupan setiap muslim. Tentunya semua muslim sepakat bahwa al-Quran adalah pedoman hidup dan penyelamat kehidupannya di dunia dan akhirat. Al-Quran bukan saja kitab suci untuk di baca dan di jadikan pajangan atau jimat untuk menangkal bala dan mara bahaya. Jika interaksi kita dengan al-Quran masih pada tahap ini, sama saja kita mengebiri pesan-pesan al-Quran dalam kehidupan. As-Syahid Sayyid Quthub dalam perenungannya terhadap al-Quran mengatakan: "Selamanya akan ada jurang yang sangat dalam antara kita dengan al-Quran jika kita tidak memunculkannya dalam perasaan kita dan menghadirkannya dalam hati kita. Al-Quran ini di turunkan kepada umat yang mempunyai semangat untuk hidup dan diarahkan untuk menghadapi problematika umat ini dan umat manusia pada umumnya. Selain itu juga berfungsi untuk mengatur pergolakan yang terjadi dalam jiwa manusia dan realita kehidupan di muka bumi yang selalu berputar dan berkembang. Selamanya akan ada tabir yang sangat tebal antara hati kita dengan al-Quran selama kita hanya membacanya atau mendengarnya sebagai rutinitas ritual. Hampa dari sentuhan-sentuhan yang berhubungan dengan realitas kehidupan manusia sehari-hari, yang selalu dihadapi oleh makhluk yang bernama manusia dan yang di alami oleh umat yang bernama kaum muslimin!" Namun timbul pertanyaan, bagaimana membiaskan nilai-nilai yang terdapat pada al-Quran dalam kehidupan? Kemudian apa yang dapat al-Quran sumbangkan pada setiap problematika yang senantiasa muncul dan berkembang? Dan serangkaian tanda tanya lain yang mempertanyakan peran dan fungsi al-Quran dalam realitas kontemporer. Jawaban pertama mungkin bisa kita sepakati, yaitu untuk menjawab tantangan zaman tentu al-Quran tidak bisa hanya sekedar dibaca dan dijadikan rutinitas ritual saja. Karena sekalipun berpahala dalam membaca al-Quran tetapi jika nilai-nilai yang terkandung di dalamnya tidak di terjemahkan dalam realitas tentunya selamanya akan menjadi idealita yang tidak akan terwujud. Kedua, keyakinan (baca: keimanan) kita bahwa al-Quran diturunkan Allah SWT untuk kebaikan manusia di dunia dan di akhirat. Al-Quran tidak hanya membahas masalah religi saja tetapi mengatur juga semua sisi kehidupan manusia. Sesuai dengan universalitas dan integralitas Islam. Bahwasanya Islam mengatur kehidupan beragama dan dunia sekaligus (ekonomi, politik, kebudayaan, militer, pendidikan, sosial, dan lain-lain). Hal ini nampak sekali dalam kandungan al-Quran yang banyak berbicara tentang masalah hubungan manusia dengan manusia. Mulai dari zakat, warisan, pernikahan, hubungan suami isteri, kemiliteran (jihad), jual beli, konsep hukum, hubungan dengan non muslim, bahkan ayat terpanjang berbicara tentang masalah tata cara hutang piutang (QS 2: 282) dan lain sebagainya. Ketiga, mengikuti metode belajar al-Quran yang pernah di terapkan oleh sahabat yaitu belajar untuk di amalkan (study applicatif), tidak hanya untuk menambah wawasan (study oriented). Sehingga ada ungkapan tegakkanlah al-Quran (syariat Islam) dalam hatimu, niscaya ia akan tegak di bumimu. Jika jawaban ketiga ini diabaikan maka selamanya nilai-nilai al-Quran (baca: Islam) hanya sebuah konsep yang utopia saja tidak bisa menyentuh realitas. Karena itu amalkanlah yang telah anda ketahui dan berusahalah mempelajari yang lainnya untuk diamalkan. Mukjizat al-Quran Bangsa Arab yang waktu itu berwatak dan bermental jahiliyah berubah menjadi bangsa yang berbudi luhur dan berakhlak mulia. Perlu dipahami bahwa kondisi jahiliyah bukanlah deskripsi kondisi sosial yang terbelakang dan tidak mempunyai peradaban. Namun jahiliyah adalah watak mental, baik individu, kelompok, komunitas maupun bangsa yang tidak mengakui hakikat Uluhiyah (bahwasanya Allah SWT adalah satu-satunya yang wajib disembah dan pantas diberikan loyalitas kepada-Nya). Al-Quran adalah ruh, inspirator dan motivator umat Islam untuk menjawab tantangan realitas, membangun peradaban dan kedamaian. Jika ia terpasung dari kehidupan berarti umat ini hidup tanpa ruh, seperti mayat yang jasadnya ada tetapi tidak dapat bergerak. Relakah anda di katakan mayat hidup? Yang hidup tanpa partisipasi dan kontribusi?
***
|
|
|
artikel
Selasa 13 Maret 2001 06.52 WIBProfil Pribadi Muslim Oleh : Muhammad Ammar Azmi Jakarta PeKa Online, Al-Qur'an dan sunnah merupakan dua pusaka Rasulullah SAW yang harus selalu dirujuk oleh setiap muslim dalam segala aspek kehidupan. Satu dari sekian aspek kehidupan yang amat penting adalah pembentukan dan pengembangan pribadi muslim. Pribadi muslim yang dikehendaki Al-Qur'an dan sunnah adalah pribadi yang saleh. Pribadi yang sikap, ucapan dan tindakannya terwarnai oleh nilai-nilai yang datang dari Allah SWT. Persepsi (gambaran) masyarakat tentang pribadi muslim memang berbeda-beda. Bahkan banyak yang pemahamannya sempit sehingga seolah-olah pribadi muslim itu tercermin pada orang yang hanya rajin menjalankan Islam dari aspek ubudiyah. Padahal itu hanyalah satu aspek saja dan masih banyak aspek lain yang harus melekat pada pribadi seorang muslim. Oleh karena itu standar pribadi muslim yang berdasarkan Al Qur'an dan Sunnah merupakan sesuatu yang harus dirumuskan, sehingga dapat menjadi acuan bagi pembentukan pribadi muslim. Bila disederhanakan, setidaknya ada sepuluh karakter atau ciri khas yang mesti melekat pada pribadi muslim. 1. Salimul Aqidah (Aqidah yang bersih) 2. Shahihul Ibadah (ibadah yang benar) 3. Matinul Khuluq (akhlak yang kokoh) 4. Qowiyyul Jismi (kekuatan jasmani) Oleh karena itu, kesehatan jasmani harus mendapat perhatian seorang muslim dan pencegahan dari penyakit jauh lebih utama daripada pengobatan. Meskipun demikian, sakit tetap kita anggap sebagai sesuatu yang wajar bila hal itu kadang-kadang terjadi. Namun jangan sampai seorang muslim sakit-sakitan. Karena kekuatan jasmani juga termasuk hal yang penting, maka Rasulullah SAW bersabda yang artinya: "Mukmin yang kuat lebih aku cintai daripada mukmin yang lemah (HR. Muslim) 5. Mutsaqqoful Fikri (intelek dalam berfikir) Di dalam Islam, tidak ada satupun perbuatan yang harus kita lakukan, kecuali harus dimulai dengan aktifitas berfikir. Karenanya seorang muslim harus memiliki wawasan keislaman dan keilmuan yang luas. Bisa dibayangkan, betapa bahayanya suatu perbuatan tanpa mendapatkan pertimbangan pemikiran secara matang terlebih dahulu. Oleh karena itu Allah mempertanyakan kepada kita tentang tingkatan intelektualitas seseorang, sebagaimana firman Allah yang artinya: Katakanlah: "samakah orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui?"', sesungguhnya orang-orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran". (QS 39:9) 6. Mujahadatul Linafsihi (berjuang melawan hawa nafsu) 7. Harishun Ala Waqtihi (pandai menjaga waktu) Allah SWT memberikan waktu kepada manusia dalam jumlah yang sama, yakni 24 jam sehari semalam. Dari waktu yang 24 jam itu, ada manusia yang beruntung dan tak sedikit manusia yang rugi. Karena itu tepat sebuah semboyan yang menyatakan: "Lebih baik kehilangan jam daripada kehilangan waktu". Waktu merupakan sesuatu yang cepat berlalu dan tidak akan pernah kembali lagi. Oleh karena itu setiap muslim amat dituntut untuk pandai mengelola waktunya dengan baik sehingga waktu berlalu dengan penggunaan yang efektif, tak ada yang sia-sia. Maka diantara yang disinggung oleh Nabi SAW adalah memanfaatkan momentum lima perkara sebelum datang lima perkara, yakni waktu hidup sebelum mati, sehat sebelum datang sakit, muda sebelum tua, senggang sebelum sibuk dan kaya sebelum miskin. 8. Munazhzhamun fi Syuunihi (teratur dalam suatu urusan) Dengan kata lain, suatu urusan mesti dikerjakan secara profesional. Apapun yang dikerjakan, profesionalisme selalu diperhatikan. Bersungguh-sungguh, bersemangat , berkorban, berkelanjutan dan berbasis ilmu pengetahuan merupakan hal-hal yang mesti mendapat perhatian serius dalam penunaian tugas-tugas. 9. Qodirun Alal Kasbi (memiliki kemampuan usaha
sendiri/mandiri) Dalam kaitan menciptakan kemandirian inilah seorang muslim amat dituntut memiliki keahlian apa saja yang baik. Keahliannya itu menjadi sebab baginya mendapat rizki dari Allah SWT. Rezeki yang telah Allah sediakan harus diambil dan untuk mengambilnya diperlukan skill atau ketrampilan. 10. Nafi'un Lighoirihi (bermanfaat bagi orang lain) Ini berarti setiap muslim itu harus selalu berfikir, mempersiapkan dirinya dan berupaya semaksimal untuk bisa bermanfaat dan mengambil peran yang baik dalam masyarakatnya. Dalam kaitan ini, Rasulullah SAW bersabda yang artinya: "Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain" (HR. Qudhy dari Jabir). Demikian secara umum profil seorang muslim yang disebutkan dalam Al Qur'an dan sunnah. Sesuatu yang perlu kita standarisasikan pada diri kita masing-masing.
*** (penulis adalah fungsionaris DPC PK Pesanggrahan, Jakarta Selatan)
|
|
|
artikel
Rabu 24 Januari 2001 20.22 WIBBasis Umat oleh: Muhammad Arif Rahman, Lc*) Jakarta PeKa Online, Sudah lebih dari 14 abad usia dakwah yang dibawa oleh nabi Muhammad SAW. Dimulai dari turunnya 7 ayat dari surat Al-Muddatsir, yang memberikan isyarat untuk melakukan indzar (peringatan). Awal mulanya dilakukan dengan sembunyi-sembunyi lewat kerabat dekat, sahabat dan orang-orang yang memungkinkan untuk diberi peringatan sebagaimana firman Allah: "Dan berikanlah peringatan kepada saudara-saudaramu yang terdekat". Hingga akhirnya Allah SWT memerintahkan untuk menyerukan dakwah secara terang-terangan dengan turunnya ayat 94 dari surat Al-Hijr, "Maka jalankanlah apa yang telah di perintahakn kepadamu dan berpalinglah dari orang-orang musyrik". Dalam perjalanannya dakwah telah melewati sekian banyak fase. Fase ta'sis (peletakan fundamen) dilakukan oleh Rasulullah saw selama kurang lebih 13 tahun di Mekah. Kemudian pembentukan komunitas muslim hingga tegak Daulah Islamiyah pertama di Madinah. Sampai akhirnya estafet dakwah diserahkan kepada shahabat dan kaum muslimin sesudahnya hingga generasi kita sekarang ini. Dalam terminologi syar`inya dakwah Islamiyah adalah: suatu proses memindahkan manusia dari alam jahiliyah menuju Islam yang kaffah. Perlu dipahami bahwa kondisi jahiliyah bukanlah deskripsi kondisi sosial yang terbelakang dan tidak mempunyai peradaban, atau identik ditujukan pada kondisi bangsa Arab sebelum dan ketika datangnya Rasulullah SAW di Mekah. Namun jahiliyah adalah watak mental baik individu, kelompok, komunitas maupun bangsa yang tidak mengakui hakikat Uluhiyah (bahwasanya Allah SWT adalah satu-satunya yang wajib disembah dan pantas diberikan loyalitas kepada-Nya). Karena pengertian itu maka termasuk dalam kategori jahiliyah ini adalah mereka yang tidak mengenal adanya Tuhan (atheis) atau menyembah selain dari pada Allah. Begitu juga orang-orang Islam yang mengambil manhaj hidup produk manusia. Pendek kata objek dakwah mencakup seluruh manusia yang masih terjebak dalam alam kejahiliyahan. Dengan demikian Jahiliyah adalah kondisi mental bukan kondisi sosial suatu masyarakat tertentu di tempat yang tertentu pula. Dakwah islamiyah merupakan salah satu karakteristik ummat Islam. Dengannya ummat Islam mendapatkan penghargaan dari Allah SWT sebagai khairu ummatin ukhrijat linnas (QS 3:110). Namun jika kewajiban ini diabaikan maka dengan sendirinya predikat tersebut akan lepas dari tubuh umat Islam. Fenomena yang kita lihat akibat tidak diindahkannya tugas ini adalah dangkalnya pemahaman umat Islam terhadap Islam. Hal ini berdampak langsung pada minimnya pengaplikasian ajarannya. Sehingga banyak dari umat Islam yang asing terhadap agamanya sendiri. Ironisnya, ketika ada sebagian dari generasi umat ini yang ingin menghidupkan kembali ajaran-ajarannya dianggap membawa ajaran baru dan sesat. Tidak heran jika ajakan untuk menegakkan syariah Islam banyak yang tidak disetujui bahkan ditentang oleh masyarakat Islam sendiri. Alasannya macam-macam: tidak relevan lagi, tidak realistis, menyulut disintegrasi, reaksioner, formalis, sektarian dan sederet ungkapan lainnya. Tujuan dakwah Islamiyah adalah terbentuknya pribadi musim kaffah yang komit terhadap ajaran agamanya, responsibel untuk menyebarkannya dan rela berkorban untuk membelanya. Target ini dapat dievaluasi dan mudah untuk dijadikan neraca keberhasilan dakwah serta dapat diproyeksikan sesuai dengan kebutuhan dakwah. Gerakan dakwah yang ada disekeliling kita banyak menonjolkan orientasi penyediaan sarana dan prasarana sosial maupun keagamaan tetapi melupakan peningkatan kualitas SDM (pengkaderan). Kalaupun ada upaya-upaya pengkaderan, penanganannya tidak optimal dan kurang serius. Karena itu masyarakat bertanya-tanya dimana kiprah lembaga-lembaga dakwah ketika dalam tatanan sosial nampak dekadensi moral, perilaku anarkis, gaya hidup hedonis dan materialis mendominasi, tidak terkendalinya kriminalitas, anti terhadap norma-norma religius, pengebirian agama dari kancah yang lebih universal dan integral (sekularisme). "Apakah yang telah mereka perbuat selama ini ?", demikian antara lain pertanyaan masyarakat. Dalam hal ini pemikir muslim Muhammmad Quthb memberikan kontribusi konstruktif sebuah solusi untuk keberhasilan dakwah Islamiyah. Ia mengatakan jika dakwah Islamiyah ingin berhasil dalam memperjuangkan Islam maka mau tidak mau ia harus mempunyai basis gerakan dan sosial yang kokoh. Untuk tujuan ini jelas diperlukan program tarbiyah yang sistematik demi melahirkan manusia-manusia yang layak untuk menjadi basis gerakan. Yaitu manusia mukmin sejati yang menyadari tanggung jawabnya dan siap berjihad. Mentarbiyah seluruh umat Islam sampai semuanya menjadi muslim ideal yang berkualitas basis gerakan dan menjadi kader dakwah memang suatu yang boleh dikatakan mustahil. Sebab masyarakat Rasulullah SAW sendiri tidak seluruhnya terdidik di rumah al-Arqam bin abil Arqam di mekah, dan tidak semuanya berkualitas sebagai basis atau inti gerakan. Diantara mereka masih ada yang lemah imannya. Selain itu dalam masyarakat Islam pada waktu itu terdapat juga orang-orang munafik, orang yang tidak mau bejuang, malas berjuang dan menjadi penghalang dakwah. Tetapi basis gerakan yang telah ditarbiyah Rasulullah SAW merupakan suatu kekuatan yang mampu mengarahkan seluruh kaum muslimin dan mengantarkan mereka sampai tujuan. Hal ini bukanah suatu yang utopis. Karena pernah ada sacara riil maka tidak mustahi akan terealisasi kembali. Orang-orang yang dibina untuk menjadi basis gerakan inilah yang akan menjembatani antara nilai-nilai ajaran Islam dengan objek dakwah. Mereka ibarat ajaran Islam yang hidup dan berjalan dialam nyata dan bukan hayalan semata. Selama ini banyak para dai yang membuat kesenjangan antara ajaran Islam dengan praktek masyarakat. Selama ini sering kali masyarakat dituntut untuk mengaplikasikan ajaran Islam tetapi tidak mendapatkan contoh dari penyerunya sendiri. Benarlah istilah yang sering kita dengar bahwasanya "AI-Islam mahjuubun bil muslimin" (ajaran Islam tertutupi oleh perbuatan kaum musimin yang tidak mencerminkan Islam). Dai mungkin dapat menyembunyikan hakikat diri mereka dalam orasi yang berapi-api dan memukau, dalam tulisan yang tersusun rapi dan puitis. Tetapi harus diingat dakwah tidak hanya pidato, ceramah dan tulis-menulis. Walaupun semua ini merupakan media bagi dakwah dan sekaligus diperlukan. Tetapi dakwah yang sebenarnya adalah qudwah hasanah, pendekatan dan pembinaan kesadaran tiap-tiap muslim untuk memposisikan diri dalam proses perubahan yang mendorong untuk melakukan pembinaan secara intensif. Tarbiyah atau pembinaan bukanlah ibarat obat yang diperlukan sewaktu kita sakit tetapi ia adalah makanan pokok kita yang harus di konsumsi setiap saat dengan teratur dan mencukupi. Demikianlah Rasulullah SAW mengajarkan kepada kita. Demikian pula sepatutnya pemahaman kita terhadap dakwah. Wallahu a'lam.
*** (Kader Partai Keadilan Ciputat, Banten)
|
|
|
artikel
Selasa 17 April 2001 14.53 WIBCatatan Kecil Seputar Da'wah Oleh : Muhammad Ammar Azmi Jakarta PeKa Online Da'wah merupakan suatu proses dan usaha mengajak manusia ke jalan Alloh SWT dengan hikmah pelajaran yang baik dan diskusi yang positif sehingga mereka mengingkari thogut dan beriman kepada Allah SWT serta membebaskan dari kegelapan jahiliyah menuju cahaya Islam (16:125 dan 2:256-257). Da'wah Islam merupakan aktualisasi iman yang dimanifestasikan dalam suatu sistem kegiatan manusia beriman dalam bidang kemasyarakatan yang dilaksanakan secara teratur untuk mempengaruhi cara rasa (syu'ur), berfikir (fikroh), bersikap (mauqif), dan bertindak (suluk) manusia pada tatanan kenyataan individual dan sosio kultural dalam rangka mewujudkan ajaran Islam dalam semua segi kehidupan dengan menggunakan cara tertentu (manhaji). Tiga hal yang berpengaruh dalam pembentukan masyarakat Islam. Pertama, murobbi (pendidik). Kedua, manhaj (sistem) pembentuk fikroh Islam. Ketiga, bi'ah (lingkungan). Etika dalam berda'wah:
Objek da'wah: Da'I sendiri dan seluruh manusia. Tujuan Da'wah (ahdaf Da'wah):
Penyimpangan dari tujuan da'wah:
Aktivitas da'wah (amal da'wah) merupakan serangkaian aktivitas yang metodologis(manhaj) untuk mengubah (taghyir) dari 1 tahapan kondisi ke kondisi berikutnya, adalah :
Urgensi (pentingnya) da'wah:
Sebab-sebab da'wah:
Berkembangnya masyarakat diberbagai tingkat menuntut para da'i mau tidak mau, harus menangani kegiatan da'wah secara profesional (ihsan dan itqon/rapi). Pendekatan perencanaan sistematik :
*** (penulis adalah fungsionaris DPC PK Pesanggrahan, Jakarta Selatan)
|
|
|
artikel
Jumat 16 Februari 2001 06.40 WIBBPIH Sebenarnya Bisa Lebih Murah oleh Rokib Abdul Kadir, Lc. Jakarta PeKa Online, Jamaah haji Indonesia ternyata harus membayar beban biaya yang semestinya bukan merupakan tanggung jawabnya. Ada banyak komponen BPIH (Biaya Perjalanan Ibadah Haji) yang pada dasarnya bisa dieliminir sehingga dapat mengurangi beban yang harus dibayar untuk pelaksanaan ibadah haji. Hal ini tentu saja menjadi faktor yang menyebabkan BPIH jamaah haji Indonesia selalu lebih mahal dibandingkan BPIH jamaah haji dari negara-negara Asia Tenggara lainnya. Ada banyak sisi yang bisa dievaluasi dari komponen-komponen BPIH yang harus disetorkan oleh jamaah. Sampai saat ini pemberangkatan di embarkasi saja, setidaknya tim pemantau haji DPR-RI tahun 2001 telah mendapati beberapa kemungkinan pengurangan biaya yang tidak perlu dibayar oleh jamaah haji. Hal ini terkait dengan pasal 3 UU No. 7 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah yang menyebutkan bahwa: "Pemerintah berkewajiban melakukan pembinaan, pelayanan; dan perlindungan dengan menyediakan fasilitas, kemudahan, keamanan dan kenyamanan yang diperlukan oleh setiap warganegara yang menunaikan ibadah haji". Setidaknya sudah ditemukan 4 komponen BPIH yang bisa dieliminir. Pertama, biaya bimbingan manasik haji. Manasik haji diselenggarakan oleh pemerintah dalam hal ini Departemen Agama (Depag). Hampir seluruh personel yang memberikan bimbingan manasik haji adalah pegawai Depag. Sementara pegawai Depag (dalam hal ini Dinas Urusan Haji) adalah pegawai negeri yang memang direkrut dan digaji untuk memberikan pelayanan kepada jamaah haji Indonesia. Karena itu sangat tidak patut apabila biaya untuk bimbingan manasik haji dibebankan kepada jamaah haji. Kedua, honor dan biaya perjalanan petugas pelaksana penyelenggaraan ibadah haji dan umrah. Biaya perjalanan untuk haji dan umrah biasanya diambil dari tiket gratis sebanyak dua persen dari jumlah jamaah haji yang diberangkatkan. Artinya ada sebuah tiket gratis untuk setiap lima puluh orang jamaah. Jumlah ini sudah lebih dari cukup untuk memberangkatkan petugas pelayanan yang dibutuhkan. Sementara petugas tersebut umumnya juga direkrut dari pegawai Depag yang memang digaji setiap bulannya untuk melayani kebutuhan jamaah haji. Karena itu jamaah haji tidak perlu lagi dibebani biaya tambahan untuk honor mereka. Ketiga, biaya perawatan sarana embarkasi. Pada beberapa lokasi embarkasi dijumpai adanya komponen biaya perawatan sarana embarkasi yang dibebankan kepada jamaah. Hal ini sebenarnya tidak perlu karena segala fasilitas yang ada di lokasi embarkasi sebenarnya bisa digunakan untuk usaha produktif di luar musim haji. Fasilitas-fasilitas tersebut bisa disewakan kepada berbagai pihak yang membutuhkan. Uang hasil sewanya bisa dimanfaatkan untuk merawat fasilitas-fasilitas tersebut. Dengan demikian biaya perawatan tersebut tidak perlu dibebankan lagi kepada jamaah. Keempat, sistem pembayaran secara berkelompok atau berjamaah. Segala aktivitas yang dilakukan secara berjamaah akan lebih memudahkan. Banyak biaya yang dapat dieliminir jika pembayaran dilakukan secara berjamaah. Contoh yang paling mudah adalah jika sekelompok orang yang berjumlah lima puluh orang bersama-sama membayar tiket pesawat, mereka akan memperoleh potongan biaya seharga sebuah tiket gratis. Jika harga tiket sebesar seribu limaratus dollar, maka dibagi bila rata, setiap orang akan memperoleh potongan sebesar tiga puluh dollar. Sebuah nilai yang cukup besar untuk ukuran orang Indonesia. Demikian juga untuk komponen biaya lainnya seperti administrasi dan operasional haji pusat maupun daerah, operasional embarkasi, alat tulis kantor dan lain-lain. Dalam Keputusan Menteri (Kepmen) Agama No. 224 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji Dan Umrah dinyatakan pada Pasal 12 ayat 1 butir c bahwa: "Biaya dalam negeri meliputi adminitrasi dan operasional haji pusat, administrasi dan operasional haji daerah, operasional haji embarkasi, alat tulis kantor, barang cetakan, perbekalan, sarana dan prasarana haji, pembinaan ibadah haji, dan airport tax". Ada beberapa hal pada Kepmen tersebut yang bertentangan dengan semangat UU No. 17/1999 yang kedudukannya lebih tinggi dari Kepmen, yaitu tanggung jawab pemerintah untuk memberikan pembinaan, pelayanan dan perlindungan kepada jamaah haji. Bentuk tanggungjawab pemerintah semestinya diimplementasikan dalam bentuk pemberian bantuan biaya dalam negeri. Biaya tersebut diambil dari APBN yang dianggarkan setiap tahun. Hal ini akan lebih bermanfaat bagi masyarakat daripada memberikan kucuran dana yang tidak semestinya untuk rekapitulasi bank-bank bermasalah. Wallahu a’lam.
*** (penulis adalah Anggota DPR Asal Partai Keadilan (ADAPK) RI/Anggota Tim Pemantau Haji 2001 DPR-RI)
|
|
|
artikel
Ahad 11 Februari 2001 07.08 WIBHidup Bergelimang Dengan Cinta Oleh: ES. Soepriyadi Jakarta PeKa Online, Ketika diundang anak-anak SMU di daerah Serpong, saya diminta menjelaskan tentang hakekat manusia. Tema tersebut kemudian saya ubah menjadi 'Hidup Bergelimang Dengan Cinta'. Mendengar kalimat 'cinta', spontan mereka menyuarakan kor, ' Yeeeeeeeee!,...' Respon seperti ini bukan monopoli anak-anak SMU Serpong melainkan juga hampir semua SMU dan remaja lainya. Ini disebabkan oleh presepsi mereka terhadap kata 'cinta'. Bagi mereka kata tersebut begitu indah hingga mampu menyihir dan membuatnya mendengar kata demi kata sebuah cerita yang bertutur tentang cinta. Mengikuti episode demi episode sebuah sinetron yang berkisah tentang cinta. Persepsi mereka tidak 100% salah, namun apa yang mereka tangkap sebenarnya hanyalah seberkas sinar yang dipancarkan cinta. Hanya seberkas sinar, tetapi karena pancarannya sangat kuat, maka tidak sedikit kornea mata yang tidak tahan sehingga membuatnya buta. Paling tidak, mereka silau hingga tidak mampu menangkap warna-warni sinarnya yang lain. Kebutaan dan kesilauan inilah yang akhirnya melahirkan refleksi cinta dalam bentuk yang salah. Cinta diterjemahkan tanpa rambu-rambu sehingga menabrak berbagai aturan yang ada, menabrak dinding-dinding norma, menabrak pagar-pagar nilai dan bahkan membobol benteng-benteng agama. Dari sinilah kemudian muncul berbagai pemandangan yang kadang kita sendiri malu untuk melihatnya. Tidak usah ke diskotek, karaoke, bar dan lain sebagainya. Cukup di mall, plaza, taman-taman rekreasi bahkan di bus kota, dengan mudah ditemui pemandangan tersebut. Bagi mereka, begitulah cinta. Maka tak heran bila belakangan muncul istilah 'pacaran tanpa ciuman bagaikan sayur tanpa garam'. Bahkan yang lebih menyedihkan, sebagian kalangan beranggapan bahwa pacaran tanpa petting (saling menempelkan kemaluan ) bagaikan makan tanpa lauk. Kondisi ini kemudian diperparah dengan sikap orangtua yang kurang peka dan cenderung merestui apa yang dilakukan anaknya. Bahkan diantara mereka ada yang memandang aneh ketika anaknya yang telah menginjak dewasa belum mempunyai pacar. Bahkan salah seorang kawan diajak paksa oleh ibunya untuk mendatangi psikiater karena kasus terakhir. Bahkan si ibu kembali dag-dig-dug ketika anaknya minta izin untuk menikah, tanpa di dahului oleh proses pacaran. Sikap kawan di atas adalah terjemahan dari persepsinya terhadap cinta yang ia fahami secara utuh sehingga ia mampu nenangkap seluruh warna-warni sinar cinta. Warna-warni sinar cinta tersebut kemudian ia refleksikan dengan segala keutuhanya. Satu cahayanya ia refleksikan dalam kecintaanya kepada Allah, Rasulullah, para sahabat dan orang-orang mukmin. Sementara sinarnya yang lain ia terjemahkan melalui kecintaanya pada kedua orang tua, keluarga, saudara, tetangga dan seluruh manusia. Sinar yang lain lagi ia curahkan melalui kecintaanya pada tumbuh-tumbuhan, binatang dan alam semesta. Dengan pandangan yang utuh tersebut, maka seseorang akan hidup bergelimang dengan cinta. Hidup akan lebih bermakna karena dimanapun berada ia akan mendapatkan cinta. Kemudian cintanya akan berjalan dan terus berjalan seiring dengan nilai, norma dan aturan-aturan agama hingga membentuk nada-nada cinta yang indah dan serasi. Dalam kondisi seperti ini, ketika seseorang berumah tangga, maka tiap hari sinar cinta yang ada dalam rumah tangganya akan semakin cemerlang. Lain halnya orang yang membangun rumah tangganya dengan kebutaan. Akibat silau dengan seberkas sinar yang dipancarkan cinta, maka sinar cinta dalam rumah tangganya akan redup, semakin redup dan akhirnya padam. Ini tidak lain karena kebutaan mereka. Cinta telah membuatnya buta hingga tidak mampu menangkap keburukan perangai pasanganya, meskipun sebelum menikah telah berpacaran puluhan tahun. Dari sinilah kemudian sering mendengar ungkapan, 'cinta bagaikan tai kucing rasa cokelat'. Karenanya tak heran jika saat ini kita sering mendengar, bahkan menyaksikan pasangan yang lebih lama masa pacaranya ketimbang usia perkawinanya. Wallahu a'lam. *** (penulis adalah kader Partai Keadilan Ciputat)
|
|
|
artikel
Jum'at 23 Februari 2001 06.54 WIBJalan Tol Oleh : ES. Soepriyadi Jakarta PeKa Online, TOL!, begitulah orang menyebutnya. Terlepas dengan kontroversi mengenai asal muasal kata tol tersebut, yang pasti kita semua sepakat bahwa tol identik dengan keleluasaan, kelonggaran dan kelancaran. Semua kendaraan leluasa untuk melaluinya. Ada yang berjalan di pinggir, di tengah, atau kadang di tengah dan kadang di pinggir. Semuanya sah-sah saja. Asalkan memenuhi aturan, diantaranya tidak mendahului dari sebelah kiri. Kondisi jalan tol ini kemudian mengingatkan saya pada beragam kelompok (baca jama'ah) yang ada saat ini. Diantara mereka ada yang memfokuskan sisi akidah, ada yang berkutat dalam politik, ada yang berusaha melangkah dengan segenap keutuhan Islam dan lain sebagainya. Sekilas mereka memang berbeda-beda, namun secara garis besar sebenarnya mempunyai kesamaan yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Mereka masih berada diatas "rel" minimal yang sama. Sama-sama mengucapkan kalimah syahadatain, sholat tetap lima waktu, Dluhur tetap empat rakaat, Ashar tetap empat rakaat, Maghrib tetap tiga rakaat, Isya' tetap empat rakaat dan Subuh tetap dua rakaat. Qiblat mereka tetap sama, puasanya juga sama, demikian juga zakatnya, haji dan berbagai hal lainnya. Jadi jelas mereka tetap berada rel yang sama. Ibarat berbagai kendaraan yang berada di jalan tol tadi. Maksudnya, andai mereka tetap berjalan sesuai aturan (tidak keluar dari jalan) maka semuanya adalah bersaudara yang harus saling menghormati, saling memberi izin jika ingin mendahului (tentunya dengan memberi isyarat terlebih dahulu sebelum mendahului). Lain halnya jika mereka ‘slonong boy’ alias zigzag tanpa kendali. Atau ‘nyungsep’ keluar jalan dengan mengingkari hal-hal yang sudah qoth'i, misalnya tidak mengakui Al-Qur'an, mengingkari hari kiamat, mengingkari syari'at dan hal-hal yang jelas lainnya. Bila demikian, kita wajib menegur, meluruskan dan bila perlu mengeluarkannya dari jalan jika tetap keras kepala. Agar tidak mengganggu lalu lintas, atau menyebabkan kemacetan sehingga mengakibatkan tak satupun kendaraan yang bisa mencapai pintu tol depan di sana. Wallahu a'lam
*** (penulis adalah kader Partai Keadilan Ciputat)
|
|
|
artikel
Senin 8 Januari 2001 13.14 WIBJual Beli oleh: ES Soepriyadi*) Jakarta PeKa Online, Meski bentuknya berlainan, namun jual beli telah dikenal seluruh lapisan masyarakat. Bagi masyarakat primitif, jual beli tersebut barangkali berbentuk tukar-menukar antara barang dengan barang (barter). Sedangkan dalam masyarakat modern, jual beli terjadi dalam bentuk yang lebih sederhana, antara barang dengan uang, atau kartu redit. Bahkan antara barang yang diwakili sebuah gambar lengkap dengan berbagai spesifikasinya dan kartu kredit, itupun cukup dilakukan di rumah ( e-commerce ). Meskipun demikian, substansi jual beli tetap sama. Yaitu tukar menukar antara dua barang yang mempunyai nilai sama. Sungguhpun demikian ada kecenderungan yang berbeda antara dua kelompok masyarakat di atas. Masyarakat primitif melakukan jual beli hanya sebatas untuk memenuhi kebutuhan primernya. Sedangkan masyarakat modern tidak hanya untuk kebutuhan primer ataupun sekunder saja melainkan juga merambah pada kebutuhan mewah (tersier). Mereka bangga jika mampu memiliki barang yang tergolong mewah, bahkan mungkin langka. Orang-orang seperti ini barangkali terpengaruh oleh teori kepuasan II. Teori tersebut mengatakan bahwa barang yang bisa memberikan kepuasan lebih adalah barang yang memenuhi kreteria berikut: 1. Bermanfaat; 2. sukar didapat (langka); 3. tahan lama. Berdasarkan teori ini kemudian orang berbondong-bondong dalam usahanya mencari barang yang paling bisa memberikan kepuasan. Diantara mereka ada yang menterjemahkan keinginannya dengan mengkoleksi: korek api, boneka monyet, mobil antik, mobil mewah, peta kuno, dan lain sebagainya. Meskipun berbeda-beda dalam menterjemahkan barang yang paling bisa memberi kepuasan, namun ada satu kesamaan diantara mereka yaitu kerelaan dalam dana dan tenaga. Ia rela mengeluarkan dana berapapun dan usaha apapun (asalkan masih terjangkau) untuk memperolehnya. Tak heran diantara mereka ada yang sanggup menelusuri setiap toko barang antik di seluruh pelosok dunia. Pertanyaanya kemudian adalah, benarkah mereka mendapatkan barang yang paling bisa memberi kepuasan?,..Jawabannya mungkin. Kenapa?,.. Karena dalam diskripsi diatas ada faktor relatifitas. Karena manfaat dan kelangkaan sifatnya sangat kondisional, tergantung tempat dan waktu. Satu contoh BMW yang terbaru. Di Indonesia mungkin bisa memberi kepuasan lebih karena jarang dan harganyapun selangit. Namun di Jerman mungkin hal itu tidak seistimewa perabotrumah tangga yang terbuat dari akar pepohonan. Jika demikian barang apakah yang sesungguhnya paling bisa memberi kepuasan? Jika melihat diskripsi di atas, maka sebenarnya di dunia ini tidak ada barang yang mempunyai nilai 'paling'. Semuanya bersifat relatifitas. Meski demikian masih ada satu hal yang bisa memenuhi ketiga diskripsi tersebut. Meski tempatnya tidak di dunia, namun siapapun tidak akan menyangkal jika manusia memang memerlukannya. Benda tersebut adalah "surga". Karenanya jika dinilai maka surgalah benda yang paling tinggi nilainya. Permasalahannya kemudian, bagaimana cara memiliki surga tersebut ? Jika anda bisa memiliki berbagai barang yang lain dengan cara membeli, maka andapun bisa menggunakan jalan yang sama untuk memiliki surga. Akan tetapi karena surga adalah sesuatu yang menempati nilai 'paling', maka barang yang bisa menggantikannya (alat tukarnya) juga harus menempati nilai 'paling' yang anda miliki. Barang tersebut adalah nyawa. Siapapun tidak bisa mengingkari bahwa nyawalah kepunyaan anda yang paling berharga. Terbukti jika nyawa bisa dibeli (agar bisa hidup kembali) andapun akan membelinya. Sebagaimana lazimnya jual beli, maka disinipun berlaku sebuah transaksi, lengkap dengan berbagai peraturannya. Transaksi tersebut berlaku antara hamba dengan Rabnya ( Tuhannya ) dengan cara menyerahkan sepenuhnya setiap tetes darah, setiap denyut nadi dan setiap detak jantung untuk kepentingan-Nya. Bahkan jika yang diminta nyawa sekalipun maka harus rela menyerahkanya. "Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu'min, jiwa dan hartannya dengan surga ( untuk mereka ). Transaksi tersebut dengan cara mereka berperang dijalan Allah, lalu mereka membunuh ataupun terbunuh. Bagi mereka janji yang tepat, baik dalam Taurat, Injil maupun al-Qur'an. Dan siapakah yang lebih menepati transaksi (janji) selain Allah. Maka bergembiralah dengan transaksi jual beli yang telah kalian semua lakukan. Dan demikian itulah kemenangan yang besar". ( At-Taubah: 111 )
***
|
|
|
artikel
Jum'at 12 Januari 2001 17.11 WIBKeadilan Gender Dalam Tatanan Keluarga Muslim Oleh: Nabilah Ahmad Akrom Jakarta PeKa Online, Gender adalah pembagian peran serta tanggung jawab baik laki-laki maupun perempuan yang ditetapkan atau dibentuk oleh masyarakat ataupun budaya. Jadi gender adalah perbedaan laki-laki dan perempuan yang dibentuk, dibuat dan dikonstruksi masyarakat melalui berbagai macam sektor kehidupan. Dengan kata lain gender adalah jenis kelamin sosial. Keadilan gender adalah suatu kondisi dan perlakuan adil terhadap perempuan dan laki-laki dalam menjalankan perannya masing-masing. Sehingga mereka bisa menikmati hasil dari perannya itu secara adil. Konsep Gender Barat Dengan demikian maka -menurut para pemikir barat- akan terbukalah peluang negosiasi gender di masyarakat sehingga wanita tidak terjebak dalam pembagian kerja yang tidak menguntungkan -sebab tugas-tugas wanita selama ini dinilai menghabiskan lebih banyak waktu dan tenaga daripada pria. Namun tidak mendapatkan imbalan materi dan status sosial ( yang lebih tinggi ) sebagaimana pria. Konsep berpikir barat sebenarnya berangkat dari paradigma filosofi helenisme Yunani dan materialisme Romawi. Konsep ini berisi ramuan penyembahan akal, penyembahan jasad dalam bentuk keindahan sensory dan sensual, serta mitos pertentangan antara manusia dan Tuhan di mana Tuhan menghendaki penghancuran eksistensi manusia . Sementara manusia berjuang memantapkan keberadaannya dengan melakukan pembangkangan terhadap Tuhan. Maka tidaklah mengherankan jika budaya hedonistik dan semangat menguasai orang lain untuk memperoleh kepuasan yang maksimal hidup dan mengalir dalam jiwa mayoritas manusia barat. Penindasan terhadap wanita barat adalah satu di antara bukti betapa budaya ‘eksploitasi hedonistik’ tersebut sangat kuat tertanam. Bahkan ketika isu gender balance digembar-gemborkan, kondisi para wanita barat tidaklah lebih baik dari sebelumnya. Konsep gender ala barat yang menyamakan secara membabi-buta peran wanita dan pria ini terbukti hanya menimbulkan teori-teori semu tentang keadilan. Penentangan fitrah peran kodrati wanita dan pria justru melahirkan berbagai permasalahan baru berupa kerusakan moral dalam sendi-sendi masyarakat yang (katanya) modern dan maju itu. Ada delapan kerusakan yang diprediksi sebagai implikasi diterapkannya konsep gender berdasarkan rumusan tentang hak-hak wanita yang diserukan dalam Konferensi Dunia IV tentang Wanita di Beijing :
Konsep Gender Islam Aturan-aturan rumah tangga seperti Qawwamahnya laki-laki (kepemimpinan
laki-laki terhadap wanita), ketergantungan nafkah wanita terhadap
laki-laki, kewajiban wanita untuk patuh pada suami dalam berbagai hal
(termasuk dalam melaksanakan hubungan biologis), dibolehkannya poligami,
kewajiban wanita dalam rumah tangga dan dibolehkannya suami menegur istri
bahkan memukulnya, merupakan aturan-aturan yang dituding sebagai sebab
penindasan wanita.
Bagaimanakah sebenarnya tuntunan Islam dalam hal hubungan laki-laki dan
wanita? Apakah benar semua tuduhan itu? Jawabannya tidak sekedar
membutuhkan keimanan dan keyakinan akan keadilan Islam, namun juga perlu
penelaahan berbagai nash-nash al-Qur’an dan al- Hadits dan juga
pendapat-pendapat ulama di dalamnya.
Pembahasan berikut akan mencoba menjawab segala syubhat di atas. Disini
akan diuraikan menjadi beberapa bahasan yaitu:
A. Qawwamah laki-laki dan konsekwensinya Yang dimaksud dengan kepemimpinan laki-laki adalah: tertegaknya segala
didikan, aturan, pemeliharaan dan perlindungan terhadap wanita (istri)
sebagai suatu tanggung jawab pemimpin terhadap orang yang dipimpinnya.
Jadi qawwamah laki-laki adalah tuntutan managerial atau suatu konsekwensi
logis dari satu hubungan di mana harus ada yang memimpin dan yang
dipimpin. Qawwamah laki-laki dalam Islam berlandaskan kasih sayang dan
kelembutan bukan otoritas arogan kediktatoran. Serta terpenuhinya prinsip
musyawarah dan ta’awun di dalamnya.
Karena itu ada dua hal yang patut diperhatikan dalam pelaksanaan
qawwamah tersebut yaitu:
rumahnya. Sampai akhirnya terdengar khabar bahwa orangtua si istri
sakit, lalu istri meminta izin pada Rasul tetapi Rasul melarangnya. Begitu
pula ketika terdengar berita bahwa orangtuanya meninggal, Rasul tetap
melarangnya.
Hadits ini menjadi perdebatan ulama tentang sejauhmana seorang suami
berhak melarang istrinya untuk bersilaturahmi kepada orangtuanya. Hadits
tersebut, setelah diteliti dari segi sanadnya
(para perawinya) ada salah seorang perawinya dianggap memiliki cacat
rawi yaitu Muhammad ibn Aqil al-Khaza’iy, sehingga hadits ini dianggap
oleh Syafi’iy sebagai tidak shahih.
Disamping itu hadits ini dianggap bertentangan dengan nash al-Qu’an
yang memerintahkan kita berbakti pada orangtua.
Larangan suami atas istri untuk ziarah kepada orangtuanya, terutama
dalam kondisi orangtuanya sakit, dianggap melukai dan menyakiti perasaan
istri dan itu bertentangan dengan prinsip wa 'asyiruhunna bil ma'ruuf.
Dalam masalah ta’dib (mendidik/menegur) istri, dimana sang suami
boleh memukul sang istri, ada beberapa aturan yang perlu diperhatikan : 1.
Teguran tersebut harus bertahap, sebagaimana yang tertera dalam QS.
An-Nisa: 34. Bahwa hak untuk menegur, bukanlah bersifat sewenang- wenang.
Atau isyarat dibolehkannya suami sewenang-wenang terhadap istri. Namun
perlambang tanggung jawab suami terhadap perilaku sang istri bila
bermaksiat terhadap Allah. Bila sang suami tidak menegur, tentulah ia
berdosa pula.
Berbeda dengan istri, dia tidak dibebani tanggung jawab yang sama, (
sebesar tanggung jawab suami ) bila suami melakukan penyimpangan. Lihat
hadits : “Setiap kamu adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas yang
dipimpinnya. Dan seorang laki-laki adalah pemimpin bagi keluarganya dan
bertanggung jawab atas yang dipimpinnya ...”
Dalam sebuah ayat sering disebutkan Quu anfusakum wa ahlikum naara
(Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka). Ayat diatas, memakai
dlomir "Kum"( kamu semua laki-laki), artinya penjagaan tersebut
adalah tanggung jawab utama bagi laki-laki. Meski demikian karena hukum da’wah
wajib bagi setiap muslim dan muslimah, maka seorang istri juga wajib
meluruskan apabila melihat suami melakukan penyimpangan.
3. Bahwa tindakan memukul yang dibolehkan adalah pukulan yang tidak
menyakitkan atau meninggalkan bekas dan tidak boleh di wajah. Bahkan kalau
bisa tidak memukulnya. karena Rasul tidak pernah memukul pembantu apalagi
istrinya. Sebagaimana hadits yang diriwatkan oleh A’isyah RA.
B. Hak wanita dalam hubungan biologis dan hak reproduksi Pendapat-pendapat ulama justru menunjukkan bahwa jima’ adalah hak
bagi sang istri. Mereka hanya berbeda pendapat dalam hal berapa lamanya
seorang istri wajib digauli. Syafi’i berpendapat bahwa wajibnya seorang
istri digauli hanyalah satu kali. Karena hal ini berkaitan dengan syahwat
dan perasaan maka tidak dapat diwajibkan begitu saja. Sedangkan Hanabilah
berpendapat bahwa wajibnya itu setiap empat bulan sekali.
Adapun hadits di atas, para ulama menyarankan agar hadits tersebut
tidak dipahami secara harfiah. Musthafa Muhammad Imarah misalnya,
mengatakan bahwa laknat malaikat itu terjadi jika penolakan istri
dilakukan tanpa alasan syar’i (sakit misalnya). Juga Wahbah az-Zuhaily,
berpendapat bahwa laknat dalam hadits itu harus diberi catatan ‘selagi
istri dalam keadaan longgar dan tidak takut disakiti’.
Al-Syirazi mengatakan bahwa meskipun istri wajib melayani permintaan
suami, tetapi jika tidak terangsang untuk melayaninya, ia boleh menawarnya
atau menangguhkannya sampai batas tiga hari. Dan bagi istri yang sedang
sakit, atau tidak enak badan, maka tidak wajib baginya untuk melayani
ajakan suami sampai sakitnya hilang. Bahkan Syaikh Ahmad kan’an dalam
bukunya Ushul mu’asyarah as-zaujiyah, berpendapat bahwa hadits tersebut
sebenarnya bukan tudingan bagi isteri semata. Suami juga akan mendapatkan
hal yang sama jika menolak keinginan istri, sementara ia dalam kondisi
yang telah dijelaskan para ulama diatas.
Adapun kalimat ‘jika laki-laki mengajak” dalam hadits di atas lebih
cenderung pada bentuk “aghlabiyah” artinya, dalam realitanya laki-
lakilah biasanya yang sering memulai. Jadi jelaslah bahwa hubungan badan
(aktifitas seksual) bukan sekedar kewajiban bagi sang istri tapi juga
merupakan haknya dan kewajiban bagi suami. Dengan kata lain aktifitas
seksual merupakan hak dan kewajiban bersama. Maka bagaimana mungkin
dikatakan ada ‘marital rape’ dalam keluarga Islami?
Adapun hak-hak reproduksi wanita atau hak wanita untuk menentukan
apakah ia mau hamil atau tidak dapat ditelusuri dari hadits-hadits tentang
azal. Hukum azal (mengeluarkan mani ketika jima’, tidak pada kemaluan
wanita, dengan tujuan menghindari kehamilan) memang diperdebatkan. Namun
dapat disimpulkan bahwa kebanyakan ulama tidak mengharamkannya, hanya
menganggapnya makruh. Hanya ulama Dhahiriyah yang menganggapnya haram
secara mutlak.
Banyak ulama yang mengaitkan kebolehan azal itu dengan izin dari istri.
Artinya bila si istri menyetujui, maka boleh dilaksanakan azal. Tetapi
bila tidak, maka hendaknya azal ditinggalkan. Bahkan persetujuan istri
inilah yang dianggap menjadi sebab dibolehkannya azal secara mutlak.
Hal ini didasarkan pada dua sebab :
D. Poligami sebagai alternatif Begitu pula dalam hal pemeliharaan anak-anak. Di sisi lain, adanya
pembagian waktu antara satu istri dengan istri lainnya dalam hal melayani
suami, memungkinkan bagi sang istri memperoleh waktu luang mengembangkan
potensi pribadinya. Suami pun dapat memperoleh haknya di saat istri lain
berada dalam kondisi halangan syar’i.
Yang terpenting dalam poligami adalah keadilan suami dalam hal nafkah,
baik lahir maupun batin dan pembagian waktu. Adapun masalah hati, adalah
sesuatu yang memang susah untuk dilaksanakan. Karena Allah sendiri telah
mengisyatatkan hal tersebut.
Keadilan itu sulit tercipta tanpa adanya satu keterbukaan. Dengan
adanya keterbukaan pula, penyelewengan atau penyimpangan prilaku suami
dalam menjalankan kewajibannya dapat dipantau para istri.
*** |
|
|
artikel
Jumat 6 April 2001 09.10 WIBKematian Hati oleh: KH. Rahmat Abdullah Banyak orang tertawa tanpa (mau) menyadari sang maut sedang mengintainya. Banyak orang cepat datang ke shaf shalat laiknya orang yang amat merindukan kekasih. Sayang ternyata ia datang tergesa-gesa hanya agar dapat segera pergi. Seperti penagih hutang yang kejam ia perlakukan Tuhannya. Ada yang datang sekedar memenuhi tugas rutin mesin agama. Dingin, kering dan hampa, tanpa penghayatan. Hilang tak dicari, ada tak disyukuri. Dari jahil engkau disuruh berilmu dan tak ada idzin untuk berhenti hanya pada ilmu. Engkau dituntut beramal dengan ilmu yang ALLAH berikan. Tanpa itu alangkah besar kemurkaan ALLAH atasmu. Tersanjungkah engkau yang pandai bercakap tentang keheningan senyap ditingkah rintih istighfar, kecupak air wudlu di dingin malam, lapar perut karena shiam atau kedalaman munajat dalam rakaat-rakaat panjang. Tersanjungkah engkau dengan licin lidahmu bertutur, sementara dalam hatimu tak ada apa-apa. Kau kunyah mitos pemberian masyarakat dan sangka baik orang-orang berhati jernih. Bahwa engkau adalah seorang saleh, alim, abid lagi mujahid, lalu puas meyakini itu tanpa rasa ngeri. Asshiddiq Abu Bakar Ra. Selalu gemetar saat dipuji orang. "Ya ALLAH, jadikan diriku lebih baik daripada sangkaan mereka. Janganlah Engkau hukum aku karena ucapan mereka dan ampunilah daku lantaran ketidaktahuan mereka", ucapnya lirih. Ada orang bekerja keras dengan mengorbankan begitu banyak harta dan dana, lalu ia lupakan semua itu dan tak pernah mengenangnya lagi. Ada orang beramal besar dan selalu mengingat-ingatnya, bahkan sebagian menyebut-nyebutnya. Ada orang beramal sedikit dan mengklaim amalnya sangat banyak. Ada juga orang yang sama sekali tak pernah beramal tetapi merasa banyak amal dan menyalahkan orang yang beramal karena kekurangan atau ketidaksesuaian amal mereka dengan lamunan pribadinya, atau tidak mau kalah dan tertinggal di belakang para pejuang. Mereka telah menukar kerja dengan kata. Dimana kau letakkan dirimu ? Saat kecil, engkau begitu takut gelap, suara dan segala yang asing. Begitu kerap engkau bergetar dan takut. Sesudah pengalaman dan ilmu makin bertambah, engkaupun berani tampil di depan seorang kaisar tanpa rasa gentar. Semua sudah jadi biasa, tanpa rasa. Telah berapa hari engkau hidup dalam lumpur yang membunuh hatimu sehingga getarannya tak terasa lagi saat ma'siat menggodamu dan engkau meni'matinya ? Malam-malam berharga berlalu tanpa satu rakaatpun kau kerjakan. Usia berkurang banyak tanpa jenjang kedewasaan ruhani meninggi. Rasa malu kepada ALLAH, dimana kau kubur dia ? Di luar sana rasa malu tak punya harga. Mereka jual diri secara terbuka lewat layar kaca, sampul majalah atau bahkan melalui penawaran langsung. Ini potret negerimu: 228.000 remaja mengidap putau. Dari 1500 responden usia SMP & SMU, 25 % mengaku telah berzina dan hampir separohnya setuju remaja berhubungan seks di luar nikah asal jangan dengan perkosaan. Mungkin engkau mulai berfikir "Jamaklah, bila aku main mata dengan aktifis perempuan bila engkau laki-laki atau sebaliknya di celah-celah rapat atau berdialog dalam jarak sangat dekat atau bertelepon dengan menambah waktu yang tak diperlukan sekedar melepas kejenuhan dengan canda jarak jauh". Betapa jamaknya 'dosa kecil' itu dalam hatimu. Kemana getarannya yang gelisah dan terluka dulu, saat 'TV Thaghut' menyiarkan segala 'kesombongan jahiliyah dan maksiat' ? Saat engkau muntah melihat laki-laki (banci) berpakaian perempuan, karena kau sangat mendukung ustadzmu yang mengatakan "Jika ALLAH melaknat laki-laki berbusana perempuan dan perempuan berpakaian laki-laki, apa tertawa riang menonton akting mereka tidak dilaknat ?" Ataukah taqwa berlaku saat berkumpul bersama, lalu yang berteriak paling lantang "Ini tidak islami" berarti ia paling islami. Sesudah itu urusan tinggallah antara engkau dengan dirimu, tak ada ALLAH disana ? Sekarang kau telah jadi kader hebat. Tidak lagi malu-malu tampil. Justru engkau akan dihadang tantangan: sangat malu untuk menahan tanganmu dari jabatan tangan lembut lawan jenismu yang muda dan segar. Hati yang berbunga-bunga didepan ribuan massa. Semua gerak harus ditakar dan jadilah pertimbanganmu tergadai pada kesukaan atau kebencian orang, walaupun harus mengorbankan nilai terbaik yang kau miliki. Lupakah engkau, jika bidikanmu ke sasaran tembak meleset 1 milimeter, maka pada jarak 300 meter dia tidak melenceng 1 milimeter lagi ? Begitu jauhnya inhiraf di kalangan awam, sedikit banyak karena para elitenya telah salah melangkah lebih dulu. Siapa yang mau menghormati ummat yang "kiayi"nya membayar beberapa ratus ribu kepada seorang perempuan yang beberapa menit sebelumnya ia setubuhi di sebuah kamar hotel berbintang. Lalu dengan enteng mengatakan "Itu maharku, ALLAH waliku dan malaikat itu saksiku" dan sesudah itu segalanya selesai. Berlalu tanpa rasa bersalah? Siapa yang akan memandang ummat yang da'inya berpose lekat dengan seorang perempuan muda artis penyanyi lalu mengatakan "Ini anakku, karena kedudukan guru dalam Islam adalah ayah, bahkan lebih dekat daripada ayah kandung dan ayah mertua". Akankah engkau juga menambah barisan kebingungan ummat lalu mendaftar diri sebagai 'alimullisan (alim di lidah)? Apa kau fikir sesudah semua kedangkalan ini kau masih aman dari kemungkinan jatuh ke lembah yang sama? Apa beda seorang remaja yang menzinahi teman sekolahnya dengan seorang alim yang merayu rekan perempuan dalam aktifitas da'wahnya? Akankah kau andalkan penghormatan masyarakat awam karena statusmu lalu kau serang maksiat mereka yang semakin tersudut oleh retorikamu yang menyihir? Bila demikian, koruptor macam apa engkau ini? Pernah kau lihat sepasang mami dan papi dengan anak remaja mereka. Tengoklah langkah mereka di mall. Betapa besar sumbangan mereka kepada modernisasi dengan banyak-banyak mengkonsumsi produk junk food, semata-mata karena nuansa "westernnya". Engkau akan menjadi faqih pendebat yang tangguh saat engkau tenggak minuman halal itu, dengan perasaan "Lihatlah, betapa Amerikanya aku". Memang, soalnya bukan Amerika atau bukan Amerika, melainkan apakah engkau punya harga diri. (penulis adalah Ketua MPP Partai Keadilan/Ketua Yayasan Iqro' Bekasi) Sumber: Situs kaderisasi.pk.or.id
|
|
|
artikel
Jum'at 9 Februari 2001 07.13 WIBKiat Menjemput Maut Oleh : Ir. Drs. Abu Ammar, MM Jakarta PeKa Online, Alkisah menurut sirah (sejarah kehidupan Nabi), pernah Nabi Ibrahim AS berdialog dengan malaikat maut soal sakaratul maut. Nabi Ibrahim bertanya kepada malaikat maut, 'Dapatkah engkau memperlihatkan rupamu saat engkau mencabut nyawa manusia yang gemar berbuat dosa?' Malaikat menjawab pendek,"Engkau takkan sanggup". "Aku pasti sanggup", sanggah beliau. "Baiklah, berpalinglah dariku", pinta sang malaikat. Saat Nabi Ibrahim berpaling kembali, dihadapannya telah berdiri sesosok berkulit legam dengan rambut berdiri, berbau busuk dan berpakaian serba hitam. Dari hidung dan mulutnya tersembur jilatan api. Seketika itu pula Nabi Ibrahim jatuh pingsan! Ketika tersadar kembali, berkata beliau kepada sang malaikat, "Wahai malaikat maut, seandainya para pendosa itu tak menghadapi sesuatu yang lain dari wajahmu disaat kematian-Nya, niscaya cukuplah itu menjadi hukuman untuknya". Di kesempatan lain, kisah yang diriwayatkan oleh 'Ikrimah dari Ibn 'Abbas ini, Nabi Ibrahim meminta Malaikat Maut mengubah wujudnya saat mencabut nyawa orang-orang beriman. Dengan mengajukan syarat yang sama kepada Ibrahim, sang malaikat pun mengubah wujudnya. Dihadapan Nabi yang telah membalikkan badanya kembali, telah berdiri seorang pemuda tampan, gagah, berpakaian indah yang darinya tersebar harum wewangian. Nabi Ibrahim kemudian berkata: "Seandainya orang beriman melihat rupamu disaat kematiannya, niscaya cukuplah itu sebagai imbalan amal baiknya". Dari nukilan kisah itu, apakah bisik-bisik misteri tentang penampakkan malaikat maut menjelang ajal seseorang benar adanya? Dalam pergaulan sehari-hari, kadang sering kita mendengar dari mulut ke mulut, misalnya salah satu anggota keluarga dari orang yang tengah menghadapi maut bercerita bahwa saudaranya itu melihat sesuatu. Apakah itu berupa bayangan hitam, putih atau hanya gumaman dialog mirip seperti orang yang tengah mengigau. Namun yang pasti dari beberapa riwayat, selain Nabi Ibrahim, Nabi Daud AS dan Nabi Isa AS juga pernah dihadapkan pada fenomena penampakkan malaikat maut itu. Kisah prasakaratul maut itu belum seberapa bila dibandingkan dengan sakaratul maut itu sendiri. Sakaratul maut adalah sebuah ungkapan untuk menggambarkan rasa sakit yang menyerang inti jiwa dan menjalar ke seluruh bagian sehingga tak satupun bagian yang terbebas dari rasa sakit itu. Malapetaka paling dahsyat di kehidupan paripurna manusia ini memberi rasa sakit yang berbeda-beda pada setiap orang. Untuk menggambarkan rasa itu, pernah Rasulullah SAW berkata. "Kematian yang paling mudah adalah serupa dengan sebatang duri yang menancap di selembar kain sutera. Apakah duri itu dapat diambil tanpa membawa serta bagian kain sutera yang terkoyak?" Tapi di bagian lain Rasulullah seperti yang dikisahkan oleh Al-Hasan pernah menyinggung soal kematian, cekikan dan rasa pedih. "Sakitnya sama dengan tiga ratus tusukan pedang," sabda beliau. Diriwayatkan pernah Nabi Ibrahim ketika ruhnya akan dicabut, Allah SWT bertanya kepada Ibrahim, "Bagaimana engkau merasakan kematian wahai kawanku?" Beliau menjawab "Seperti sebuah pengait yang dimasukkan kedalam gumpalan bulu basah yang kemudian ditarik". "Yang seperti itulah, sudah kami ringankan atas dirimu", firman-Nya. Tentang sakaratul maut, Nabi SAW bersabda, "Manusia pasti akan merasakan derita dan rasa sakit kematian dan sesungguhnya sendi-sendinya akan mengucapkan selamat tinggal satu sama lain seraya berkata: "Sejahteralah atasmu; sekarang kita saling berpisah hingga datang hari kiamat kelak". Tentang sakaratul maut itu Rasulullah SAW sendiri menjelang akhir hayatnya berucap "Ya Allah ringankanlah aku dari sakitnya sakaratul maut" berulang hingga tiga kali. Padahal telah ada jaminan dari Allah SWT bahwa beliau akan segera masuk surga. Mulai detik ini marilah kita komparasikan kekhawatiran beliau yang memiliki tingkat keimanan dan keshalehan sedemikian sempurnanya, dengan kita yang hanya manusia biasa ini. Oleh karenanya kematian mestinya tak perlu menjadi sesuatu yang perlu ditakuti tapi sebaliknya harus senantiasa dirindukan. Jika sesuatu itu begitu dirindukan, logikanya berarti ingin cepat-cepat pula ditemui. "Barangsiapa membenci pertemuan dengan Allah, maka Allah akan benci bertemu dengannya" sabda Rasulullah SAW. Namun bukan berarti pula kita dianjurkan untuk selalu mengharap kematian, karena tentang hal ini seperti diriwayatkan Bukhari, Rasulullah SAW sendiri juga pernah bersabda, "Janganlah seorang diantaramu mengharap kematian." Cukuplah sepanjang hayat ini, kita selalu mengingat-ingat maut. Caranya dengan senantiasa tanpa lelah memerangi hawa nafsu, merenung, atau melindungi hati dari silaunya kemegahan duniawi. Untuk sekedar mengingat maut saja, Allah telah mendatangkan pahala dan kebaikan. Ikut bertakziah mendoakan kematian orang lain, menengok jenazah atau ikut menyaksikan penguburan misalnya, bukankah ritual itu mendatangkan pahala?. Orang yang mengingat maut dua puluh kali dalam sehari semalam, pesan Nabi Muhammad SAW, di hari akhir nanti akan dibangkitkan bersama-sama dengan golongan syuhada. Kematian Dan Alam Kubur Semua anggota badan (telinga, hidung, tangan, mata dan hati/kalbu) merupakan alat-alat yang digunakan ruh untuk melihat, mendengar, atau merasakan sesuatu. Sedangkan perasaan gembira, senang, bahagia, duka dan nestapa adalah bagian yang terkait dengan ruh itu sendiri. Kematian sama dengan hilangnya segala kemampuan yang timbul sebagai sebab akibat keterkaitan ruh dengan anggota-anggota tubuh. Lenyapnya kemampuan anggota tubuh itu seiring dengan matinya jasad, hingga tiba saatnya nanti ruh dikembalikan (baca: difungsikan) kepada jasadnya. Seringkali kita mendengar bahwa ruh akan dipersatukan kembali dengan jasad (baca: manusia dibangkitkan kembali) hingga datangnya hari kiamat kelak bukan? Logikanya, menurut Al Ghazali dapat dipersamakan dengan hilangnya fungsi salah satu anggota badan disebabkan karena telah rusak atau hancurnya anggota badan itu. Urat-urat yang berada dalam anggota tubuh itu tidak dapat dialiri lagi oleh ruh. Jadi ruh yang memiliki daya pengetahuan, berfikir dan merasa itu tetap ada dan memfungsikan sebagian anggota tubuh lain namun tak mampu memfungsikan sebagian yang lain. Jadi kematian tak berarti pula musnahnya ruh atau hilangnya daya cerna ruh, bukti tentang ini dapat direnungi pada kematian para syuhada dalam surat Ali Imran ayat 169 : "Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki ". Kematian dapat pula berarti kekalnya kebahagiaan atau kesengsaraan. Rasulullah SAW bersabda: "Kuburan itu dapat menjadi salah satu jurang neraka atau syurga" (HR Tarmidzi). Penjelasannya dilanjutkan kembali oleh Rasulullah dalam sabda-nya yang lain,"Jika salah seorang dari kalian mati, pagi dan petang akan diperlihatkan kedudukannya (kelak). Jika ia termasuk penghuni syurga maka tempat duduknya di tempatkan di surga, dan jika ia termasuk penghuni neraka maka tempatnya di neraka. Dan kepada mereka dikatakan,"Inilah tempat kalian hingga tiba saatnya dibangkitkan untuk menemui Dia pada hari kebangkitan." (HR Bukhari). Sedang, tentang kondisi alam kubur digambarkan oleh Al-Ghazali mengutip beberapa ulama salaf (seperti 'Ubaid bin 'Umair Al-Laitsi, Muhammad bin Shabih, Yazid Al-Ruqasyi, dan Ka'b (Al-Ahbar), lebih mencekam lagi. Bahwa ruh orang yang telah berada dalam alam lain itu dapat mendengar perkataan ruh lain, bahkan orang yang masih hidup. Hal itu pernah dibuktikan oleh Rasulullah SAW saat beliau bertanya tentang janji Allah, kepada jawara-jawara Quraisy yang tewas terbunuh dalam perang Badar. Dan Beliau ditanya oleh para sahabat "Wahai Rasulullah ! Apakah engkau berseru kepada mereka, sedangkan mereka sudah mati ?"Beliau menjawab,'Demi Allah yang jiwaku berada ditangan-Nya, mereka mendengar kata-kataku lebih jelas daripada kalian. Hanya saja mereka tak mampu menjawab." Dari Muhammad bin Shabih pernah diriwayatkan pula, jenazah yang telah diletakkan di liang lahat/kubur akan disapa oleh sesama ahli kubur tetangganya seraya melemparkan beberapa pertanyaan, seperti ini: "Wahai orang yang telah meninggalkan sanak saudara dan handai taulan, tidak pernahkah engkau belajar dari kami ? Pernahkah terlintas engkau akan seperti kami ? Tidakkah engkau melihat bahwa kami tak bisa lagi beramal sedangkan engkau pernah memiliki kesempatan ?" dan sebagainya. Mengingat Maut = Memproduktifkan Hidup Analoginya, manusia golongan ini dapat dipersamakan sebagai orang bodoh yang telah mensia-siakan modal hidup dan menghamburkannya dengan sia-sia. Semakin banyak kesia-siaan yang dilakukan maka tingkat kebodohan kita semakin tinggi. Sebaliknya, orang yang paling cerdas adalah orang yang paling sering mengingat ajal dan paling banyak mempersiapkan diri menghadapi maut. Husnul khotimah adalah suatu karunia Allah SWT yang khusus diberikan kepada manusia. Maka dari itu slogan 'nyeleneh', "muda berfoya-foya, tua kaya-raya, mati masuk syurga" tak berlaku dalam konteks ini. Husnul khotimah itu ibarat sebuah hadiah buat manusia atas upayanya yang sungguh-sungguh menjalankan tugas hidup (baca: beribadah dengan benar dan mengimplementasikan amar ma'ruf nahi munkar) di dunia ini. Seperti mahasiswa yang belajar matia-matian, lalu lulus dengan predikat summa cum laude. Adat manusia biasanya selalu berfikir bagaimana mendapatkan sesuatu itu terlebih dahulu, ketimbang memikirkan dengan cara apa saja sesuatu itu dapat diraih. Dalam kasus husnul khatimah, kita tak bisa langsung bermimpi ingin mendapatkannya karena husnul khatimah itu harus diraih dan dirintis sebelum maut itu datang. Dengan demikian kata-kata mati, harusnya mampu kita hadirkan dalam hati kita setiap hari. Sabda Rasulullah, yang menyatakan bahwa dengan banyak-banyak mengingat maut menjadikan seseorang menjadi makhluk yang produktif, cermat dan selektif adalah benar adanya. Karena setiap pekerjaan yang dilakukannya dianggap sebagai pekerjaan terakhirnya. Karena maut itu bisa datang kapan saja. Sebaliknya, kalau Allah belum memberi izin, mautpun takkan datang. Seperti orang yang berkeinginan bunuh diri di rel kereta api. Sesaat kereta api melintas, ternyata tubuhnya masih utuh. Karena ternyata ia berada di lintasan dengan tiga jalur rel, dan ia tak berdiri di jalur yang dilewati kereta api itu. Dengan selalu mengingat maut, intinya, kematian menjadi semacam bahan bakar agar manusia mampu hidup produktif dan bermanfaat. Ada 4 "selalu" agar manusia memiliki manfaat hidup. Pertama, selalu bermunajat kepada Allah SWT. Kedua, selalu mengevaluasi dan mengintrospeksi diri sendiri. Ketiga, selalu bertafakkur, mengasah diri dan ilmu. Keempat, selalu memenuhi hak hidup, seperti makan, minum, tidur dengan teratur. Jadi sebelum manusia mendekati sakaratul maut, Rasulullah sudah memberi solusi kepada manusia. Jika ajal telah tiba tak perlu kita takut menghadapinya. Maka jadikanlah tidur kita sebagai tidur yang terakhir, shalat yang terakhir, makan sebagai makan yang terakhir, berzakat, infaq dan shadaqah sebagai zakat, infaq dan shadaqah yang terakhir, bayangkan bahwa hari esok, kita tak lagi berada di dunia.
|
|
|
artikel
Sabtu 20 Januari 2001, 08.43 WIBMalu Aku Punya Presiden oleh Ir. Drs. Abu Ammar, MM Jakarta PeKa Online, Terlebih dahulu bukan saya mau menandingi hasil karya sastra termahysur dari penyair terkenal bung Taufik Ismail, yang menulis bukunya dengan judul "Malu Aku Jadi Orang Indonesia". Sulit ditandingi sastra yang beliau buat, karena beliau memiliki karakter puitisasi yang mengagumkan. Namun dalam hal ini judul diatas merupakan jeritan nurani, jika tidak mau disebut pemberontakan nurani. Mungkin bukan hanya saya sendiri yang memiliki pemikiran yang sama tentang judul diatas, banyak atau mungkin sebagian besar rakyat Indonesia kecuali kelompok taklid yang tidak faham duduk persoalannya. Judul diatas dimunculkan setelah sekian lama bangsa ini dipimpin oleh sang presiden (superstar-red), dimana dengan perkataannya semua fans-nya harus tunduk dan ikut, dimana dengan ucapannya semua dayang-dayang dan para patihnya harus ikut meng-amini-nya, dan dimana dengan tindak tanduk maupun tingkah lakunya, semua orang harus menganggap bahwa itu adalah sang "superstar" sekaligus "super-'ijma". Sungguh aku malu punya presiden. Sekali lagi pernyataan ini ditekankan, karena melihat superstar bangsa ini memiliki karakter yang berbeda dari superstar manapun. Sang superstar dengan gaya-gaya khasnya yang ingin selalu tampil beda dengan keadaan yang berkembang di masyarakat. Perbedaan tersebut dianggap sebagai bagian yang lumrah serta hal biasa baginya. Alasannya bahwa bangsa ini adalah "bangsa demokrasi". Benarkah atas dasar ini segala ucapan perbuatan tidak perlu memiliki pengendali ?, ataukah dibalik semua itu ada maksud yang tersembunyi ? Sungguh ironis seorang yang dianggap tokoh dan dengan ketokohannya dulu dia menjadi pemimpin bangsa ini, dengan ketokohannya dia menjadi pemimpin negeri seribu pulau dari Sabang sampai Merauke kecuali Timor-Timur yang dijual lewat pemilunya. Namun dengan ketokohannya pula dia memanfaatkan situasi dan keadaan untuk tujuan-tujuan tertentu. Demokrasi, kata indah yang terkotori oleh kenaifan seorang anak bangsa di negeri ini, cukup memilukan bagi kita semua. Demokrasi di bangsa yang mayoritas muslim ini digunakan untuk menghantam kelompok muslim dengan dalih demokrasi yang mengedepankan toleransi. Di negara ini pula telah terjadi perusakan dan pembiasan bahasa dari kata demokrasi tersebut. Demokrasi yang diagungkan disini bukan berarti demokrasi sebagaimana yang dicetuskan oleh para pendahulunya melainkan demokrasi yang edegung, dimana segala ucapan hanya ucapan seorang yang benar, yang lain tidak. Hal ini dapat dilihat dari gaya-gaya kepemimpinan beberapa pemimpin bangsa ini. Mulai dari Soekarno dengan gaya demokrasi terpimpinnya, Soeharto dengan gaya demokrasi pembangunannya dan sekarang adalah siapa lagi kalau bukan presiden yang sebagian orang menganggap bahwa beliau adalah seorang "wali". Entahlah wali apa yang dimaksud disini. Malu aku punya presiden, begitulah cerita sebagian besar teman-temanku dalam diskusi di sebuah sudut "majelis ilmu" dimana tempatku selama ini menimba ilmu. Terkadang orang melemparkan tuduhan "apakah kau tidak malu punya presiden seperti itu ?" Dengan asumsi bahwa yang menuduh tidak mengakui, superstar tertuduh adalah superstar-nya atau terkadang ada saja kata-kata yang kerap didengarkan sangat memiliki makna yang dalam "duh.anda superstarku adalah bapakku", walaupun bapaknya hanyalah seorang anak tidak tamat Sekolah Rakyat (setingkat SD jaman sekarang), walaupun bapaknya bukanlah tokoh yang di 'ulama'kan dan 'ulama' yang ditokohkan. Wajar bila perkataan tersebut muncul dari lubuk hati nurani yang dalam, karena dia merasa bahwa dalam diri bapaknya yang hidup sederhana di kampung halamannya itu memiliki keistimewaan tersendiri yaitu: kejujuran, rasa kemanusiaan dan kepeduliaan bahkan rasa keinginan yang besar untuk berbuat yang terbaik untuk bangsa bukan bangsa berbuat yang terbaik untuknya. Banyak cerita lain yang mengalir dalam sudut-sudut diskusi di "majelis ilmu" yang tidak memiliki pemimpin diskusi, moderator dan apalagi dana yang melimpah serta media pendukungnya tersebut. Diskusi kerap kali ramai, seakan bahwa dirinya pelaku saat itu. Seakan yang dibela atau yang dihantamnya adalah 'raja di raja' yang harus diselamatkan mukanya dari keterpurukan sosial. Memang indah fenomena diskusi yang membincangkan masalah sang 'superstar' tersebut. Waktupun berlalu tidak terasa akibat terlalu banyak masalah atau keunikan dari sang superstar. Tentunya meja diskusi yang tidak mewah hanya beralaskan koran yang bertuliskan "buloggate", "bruneigate", "aryantigate", "ajinomotogate" dan gate-gate yang lainnya. Bahkan ada tulisan berita yang berisi "Sang Presiden (superstar) : Ajinomoto itu Halal, Persolan Selesai" atau tulisan "Aksi Sejuta Ummat adalah Rekayasa Untuk Menggulingkan Pemerintah yang Sah" dan tikar yang sehabis dibaca masih memiliki berita-berita seputar bangsa yang dipenuhi oleh topeng-topeng reformis, dimana dengan entengnya menuduh tersangka padahal dialah otak semua tersangka. "Memprihatinkan"!, teriak peserta diskusi di sudut "Majelis Ilmu" tempatku diskusi seraya meninggalkan tempat diskusi yang tidak pernah selesai untuk dibahas, seperti para politisi dan pejabat pemerintah yang memainkan hukum "saenak udele dewe". Malu aku punya presiden. Betul-betul aku malu punya presiden karena pemimpin bangsa dan negara ini kerapkali melakukan manuver-manuver yang meresahakan masyarakat, mulai dari kasus besar sampai pada kasus yang kecil. Dan belum lama ini sang 'superstar' membuat ulah kembali dengan bertolak belakang dengan apa yang dikemukan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang nota bene-nya memiliki kefahaman ilmu lebih besar tentang hukum agama antara "Halal dan Haram". Sang superstar tersebut berbeda pendapat juga dengan para bidak atau pembantunya seperti POM Depkes yang terlebih dahulu sudah memerintahkan jajarannya untuk menarik semua produk haram yang terkandung di dalam bungkus Ajinomoto. Kasus ini sangat menggelikan. Pihak tersangka sudah dengan terbuka mengaku salah, tentang benda haram tersebut. Namun ternyata Sang Superstar masih saja membela sang tersangka. Wajar, itulah kata pertama yang muncul dari lubuk hati anak bangsa. Jangankan Ajinomoto, Sinivasan dan tiga konlomerat lainnyapun yang telah dijatuhi hukuman vonis salah masih dibelanya. Atau wajar saja sang superstar mengatakan halal bagi produk tersebut, karena uang triliyiunan rupiah saja yang dikorupsi dan dialamatkan padanya masih dianggap biasa. Kondisi bangsa Indonesia saat ini sangat memprihatinkan sekali. Tetapi anehnya, melihat kondisi bangsa yang tercoreng-moreng dan terluka ini masih saja sang pemimpin bangsa menambah duka dan luka yang menggenaskan serta semakin kronis bagi bangsa ini. Sebagai kata penutup boleh jadi, apa yang sudah di ultimatumkan oleh Rasulullah SAW bahwa ada pada suatu masa dimana ulama hatinya busuk bak bau bangkai. Dengan keulamaannya dia memanfaatkan untuk kepentingan dunia yang hanya sementara saja. Keulamaannya dimanfaatkan untuk meraih kekuasaan. Sungguh akan menjadi bangsa apa kita ini. Semoga Allah memberikan hidayahnya agar kita semua dapat mengatakan "AKU BANGGA PUNYA PRESIDEN" yang bisa membawa negara ini menuju kedamaian dibawah nilai-nilai Islam. Amien.
*** (Fungsionaris DPC Partai Keadilan Pesanggrahan-Jakarta Selatan)
|
|
|
artikel
Kamis 1 Maret 2001 06.12 WIBAdhesi Oleh :ES. Soepriyadi Jakarta PeKa Online, Dua benda yang saling menarik dan berbeda jenisnya, dalam fisika diistilahkan dengan kata ADHESI. Kapur dan papan tulis, sebagai contohnya. Begitu kapur tulis digoreskan di papan, ia akan melekat. Apapun bentuknya. Bisa sebuah gambar yang indah, kata yang penuh makna, atau sekedar coretan yang sunyi dari nilai. Tergantung pemegang kapur. Tetapi ketika papan tulis mulai diselimuti debu. Atau kapur itu sendiri bercampur dengan benda lain, kerikil misalnya, maka kondisinya akan lain. Usaha gores menggores akan mengalami hambatan. Debu-debu itu akan menempel di ujung kapur, lalu terdengarlah bunyi yang menyayat, jika usaha penulisan tersebut tetap dipaksakan. Goresan tetap dihasilkan namun hasilnya tidak seperti kondisi pertama (ketika kedua benda tersebut sama bersihnya). Goresan itu hanya meninggalkan bekas yang samar. Semakin banyak debu yang menempel pada papan tulis, maka tingkat kesusahan dalam usaha penulisan juga semakin bertambah. Ketika debu yang menempel di papan tulis bertambah dan bertambah, lalu membatu, usaha gores menggores akan kembali lancar. Meskipun demikian perlu diketahui bahwa bekas goresan yang ada sebenarnya tidak melekat pada papan tulis, tapi diatas tumpukan debu yang membantu. Peristiwa ADHESI ini dapat dianalogikan pada hati dan ilmu. Keduanya saling tarik menarik. Adakalanya proses tersebut sangat mudah. Namun tak jarang proses itu begitu berat, bagaikan menggoreskan kapur tulis ke papan yang berdebu. Suatu ketika Imam Syafi'i menanyakan perihal susahnya proses tersebut, pada gurunya, Syaikh Waqi'. Pertanyaan itu kemudian dituturkan dengan sebuah sya'ir yang cukup masyhur: "Saya bertanya kepada Ki Waqi', tentang buruknya hafalan. Beliau menasehatiku untuk meninggalkan maksiat. Ilmu Allah adalah cahaya. Cahaya tidak pernah bisa menyatu dengan maksiat. Jawaban syaikh Waqi’ jelas mengisyaratkan bahwa maksiatlah yang menjadi debu penghalang. Beberapa kalangan mungkin meragukanya. Pasalnya ada beberapa orang yang mampu menghafal Al-Qur'an meskipun ia membenci Al-Qur'an tersebut. Snouck Hugronye, satu buktinya. Dengan segala dendam dan kebencianya terhadap Islam, termasuk Al-Qur'an, ia mampu menghafal dengan baik. Melalui fakta ini kita pun mungkin terusik untuk mengerti lebih jauh, betulkah dosa mampu menjadi debu bagi hati hingga ilmu yang akan digoreskan padanya terhalang ?. Untuk mengetahui masalah ini kiranya kita perlu mengetahui hakekat dosa itu sendiri. Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa definisi dosa adalah apa-apa (satu perbuatan) yang selalu membuat resah di hati, dan timbul perasaan tidak enak jika perbuatan itu dilihat orang. Intinya dosa adalah satu perbuatan yang selalu menimbulkan keresahan, dan jelas keresahan inilah yang bisa menghalangi proses belajar mengajar. Jika demikian maka teori Syaikh Waqi' benar. Tetapi bagaimana jika ketika mengerjakan kemaksiatan seseorang tidak merasakan gundah, apakah perbuatan tersebut masuk dalam katagori bukan perbuatan dosa?,. Tidak demikian. Kita masih ingat debu yang membatu. Dosa-dosa itu bagaikan debu yang membatu. Karena terlalu banyak, bertumpuk-tumpuk sekian banyak, terjadi berulang-ulang hingga berkarat dan membatu. Dan wajar dalam kondisi seperti ini proses belajar mengajar (sepintas) normal. Penulis katakan sepintas, karena kenyataannya ilmu itu melekat pada tumpukan dosa yang membatu, bukan pada hati. Wajar jika apa yang dipahami, yang dihafal dan dipelajari sama sekali tidak mempunyai pengaruh dalam kehidupannya. Lain halnya dengan orang yang hatinya bersih. Orang-orang yang keimanannya tidak terkontaminasi berbagai dosa. Ilmu itu membawa ke arah iman. Bukan ketika (ilmu itu) telah melekat di hati, melainkan ketika pertama kali mendengarkannya. Firman Allah dalam Surat Al-Anfal ayat 2: "Sesungguhnya orang-orang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka, dan kepada Tuhanlah mereka bertawakal".
*** (penulis adalah kader Partai Keadilan Ciputat)
|
|
|
artikel
Selasa 13 Februari 2001 07.10 WIBMenuhankan Manusia oleh: A.Nandang Burhanudin, Lc Jakarta PeKa Online, Memorandum I DPR tak urung menimbulkan reaksi anarkis berlebihan baik berupa anarkis intelektual, anarkis kejiwaan, dan juga anarkis sosial. Semuanya lebih didasari ikatan emosional antagonis yang tak jarang melahirkan fanatisme buta di kalangan para pengikut pihak yang dikritik. Padahal jika semua pihak mau sedikit saja menggunakan rasio, maka peristiwa dan jenis anarkis tidak akan pernah terjadi. Sebaliknya memorandum DPR akan menjadi starting point bagi bangsa Indonesia untuk reintrospeksi terhadap kualitas setiap elemen bangsa mulai dari diri, keluarga, masyarakat, dan negara. Memang fanatisme buta bukanlah merupakan hal baru dalam kehidupan manusia. Ia ada seiring keberadaan kata ada itu sendiri. Kemunculannya tidak dimonopoli kondisi, situasi, atau subjek si pelaku. Namun sifat fanatisme sangat universal. Ia ibarat pisau, tergantung si pemilik mengartikulasikan rasa fanatisme apakah ke positif atau negatif. Fanatisme bermula dari rasa cinta berlebihan yang mengarah pada kultusisasi –jika istilah ini benar—terhadap orang yang dicintai. Seperti pepatah; al-muhibb liman yuhibbu muthi’u (kecintaan terhadap orang yang dicintainya melahirkan totalitas ketaatan). Bahkan tak jarang dari sikap kultus tersebut mengarah kepada sikap taqdis (mensucikan) dan ta`lih (menuhankan) orang yang dicintainya. Mereka yang paling rentan menjadi objek fanatisme adalah para raja (presiden, sultan, dan sejenisnya), ulama (kiai, gus, pendeta, khakham, dan lain-lain), dan sosok-sosok ubbad (ahli ibadah, para salihin). Ketiga sosok ini seperti dikatakan Abdullah bin Mubarak: "Agama itu tidak rusak kecuali oleh para raja (presiden dll), kebobrokan para ahbar dan ruhban (ulama su’)". Di masa Nabi Nuh AS, Al Quran mencatat beberapa nama tokoh-tokoh terkemuka dalam masyarakat kala itu seperti Wadd, Suwa’, Yaguts, Nasra. Dalam Shahih Bukhari, Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa mereka itu adalah orang-orang shaleh umat Nabi Nuh. Ketika mereka tiada, syetan membisikkan agar majlis-majlis tempat mereka berkumpul dinamai dengan sebutan tokoh-tokoh shaleh lengkap dengan patung-patung mereka. Pada mulanya hanya sebagai tempat mengenang. Namun setelah satu generasi, patung-patung para shalihin disembah dan tempat-tempatnya dijadikan tempat ibadah. Hal serupa dialami oleh kaum Yahudi dan Nashara. Dimana Yahudi menjadikan Uzair sebagai anak Allah. Demikian halnya dengan kaum Nashara menjadikan Isa AS sebagai anak Tuhan dan bagian dari trinitas. (Lihat Surat An Nisa; 171, at-Taubah: 30). Hal yang sama juga dialami salah satu sekte Syiah 12, ketika mereka menganggap Ali memiliki sifat-sifat ketuhanan (uluhiyah dan rububiyah). Dan tanpa disadari keyakinan sekte Syiah 12 ini sering disenandungkan bahkan tersebar dalam kaset salah satu artis yang terkenal dengan shalawatnya. Di Thanta salah satu propinsi Mesir (60 km dari Kairo), mesjid Ahmad Badawi selalu dikunjungi puluhan ribu masa yang mencari berkah, karamah, dan lainnya. Padahal sosok Ahmad Badawi tidak jelas asal usulnya baik keturunan, kualitas ibadah, ketinggian ilmu atau akhlaknya. Hanya saja menurut riwayat masyhur ia pernah masuk mesjid –yang kemudian dinamai seperti namanya—pada hari Jum’at hanya untuk kencing dan tidak untuk shalat. Kendati demikian dalam salah satu laporan kementrian wakaf Mesir yang dimuat koran mingguan Shautul Azhar (Januari, 2001), jumlah uang pemasukan dari kotak-kotak amal di mesjid tiap bulannya mencapai LE. 6 juta pound Mesir (dikali kurs Rp. 2500,-). Ini menunjukkan betapa banyaknya pengunjung dan kerelaan mereka menginfakkan harta demi sebuah keyakinan yang jelas sesatnya. Selain contoh-contoh diatas, masih banyak fenomena-fenomena kesesatan buah dari fanatisme dan rasa cinta yang tidak pada tempatnya. Seperti keyakinan para shufi, ahli-ahli tarekat, orang-orang pengikut kebatinan, dan lain-lain. Sedangkan di kalangan raja-raja, kisah Firaun yang menobatkan diri sebagai Tuhan adalah bukti lain dari arogansi pihak berkuasa (raja, presiden, dll). Tanpa disadari neofiraun terus berganti dengan format dan jenis baru. Namun semua bersatu dalam satu koridor ketamakan, rakus kedudukan, haus mengumpulkan harta benda, dan kedudukan. Masa Suharto belum lama berlalu dari benak kita. Kendati tidak mengaku sebagai Tuhan, Suharto mampu menundukkan ratusan juta rakyat Indonesia di bawah telapak kakinya, termasuk mereka yang mengatasnamakan ulama sekalipun. Sekarang setelah runtuh, semua berusaha lari dengan mensucikan diri agar tidak disebut "Suhartois". Padahal sejarah dan saksi mata tidak buta, mereka yang sekarang teriak-teriak bubarkan Golkar adalah para pengkhianat umat dan bajing loncat yang waktu itu sering "bersowan ria ke istana" dan ramai-ramai menggembosi partai Islam satu-satunya (PPP). Sementara itu sikap fanatisme juga menyeruak pada dunia "keulamaan". Santri di pesantren-pesantren tertentu sangat berlebihan dalam menghormati syekhnya. Fenomena taklid buta menjadi ciri khas masyarakat yang diperkuat dengan sistem feodal dalam pendidikan itu sendiri. Yang terjadi justru sesat dan menyesatkan. Faktor Penyebab Lahirnya Kultus
Di Indonesia sekarang ini, fenomena kultus menasional setelah naiknya Pak Dur ke tampuk kepresidenan. Dalam hal ini rakyat tidak bisa disalahkan. Sebab ibarat gerbong kereta api, mereka sangat tergantung pada lokomotifnya. Kemana saja mengarah, saking taatnya, mereka manut saja walau ke neraka jahanam sekalipun. Namun juga sebaliknya, Pak Dur tidak terlalu salah. Ia menjadi cerminan dari kondisi rakyat Indonesia sendiri yang memang masih lugu, bodoh, dan belum memiliki jati diri. Tentu bila kita merenungi perkataan Abdullah bin Mubarak bahwa; "Agama itu tidak rusak kecuali oleh para raja (presiden dll), keboborokan para ahbar dan ruhban (ulama su’)". Setelah menjadi presiden, Pak Dur memiliki tanggung jawab besar untuk menepis analisa Abdullah Mubarak yang lahir beberapa abad lampau dan telah dilegitimitasi oleh sejarah. Bagaimana tidak, kita selama ini mengenal Pak Dur adalah ulama juga wali bagi sebagian pengikutnya. Dan sekarang ia adalah presiden. Persis tiga hal perusak agama berada dalam diri Pak Dur. Semuanya ibarat pisau, apakah akan digunakan untuk –paling minimal—akomodatif dengan keadilan dan kebenaran universal yang didengunkan Islam, atau sebaliknya menebas setiap kritikan yang sebenarnya lebih disebabkan kelemahan ia sendiri? Di televisi kita melihat artikulasi kultus dari ribuan bahkan puluhan ribu jama’ah fanatis Pak Dur. Mulai dari cium tangan hingga cium kaki dengan dalil menghormati (ihtiraman). Imam Ibnu Qayyim dalam Zadul Ma’ad (vol. 4/h. 159-161) mengatakan bahwa; "Diantara jenis musyrik adalah sujudnya seorang pengikut kepada Syekhnya. Perilaku demikian adalah musyrik dari kedua belah pihak baik yang melakukan sujud atau yang disujudinya. Yang aneh mereka sering berdalih, apa yang mereka lakukan bukan sujud tapi hanya berupa menundukkan kepala di depan syekh dilandasi rasa hormat dan tawadhu. Ketahuilah; jika benar yang kalian lakukan adalah seperti yang kalian dalihkan, maka hakikat sujud adalah menundukkan kepala bagi yang disujudi. Demikian halnya sujud kepada berhala, matahari, bintang, batu, dan semuanya menyimpan kepala di hadapannya." Ironisnya kultus yang sudah mengarah kepada syirik ibadah sekarang mengarah kepada syirik dalam bersosial dan bernegara. Dimana rasa kultus telah menutupi bashirah (nurani hati) sehingga tidak mampu membedakan mana hak (kebenaran) dan mana kebatilan, mana kepentingan golongan dan mana kepentingan global, mana kritikan membangun dan mana kritikan menyinggung, mana kebaikan dan mana kebobrokan, dan sikap-sikap tidak konsisten lagi menurut kacamata muslim berakal. Akibat yang muncul sangat fatal, umat Islam berpindah dari satu kehancuran menuju kehancuran selanjutnya. Tentunya pihak yang diuntungkan adalah kaum minoritas Kristen dan Sekularis yang telah lama berusaha memetik senar-senar perpecahan demi sebuah orkestra yaitu "memarjinalkan peran umat Islam" ke pojok puritan selanjutnya. Sikap ini bisa kita lihat dari sikap Golkar dan PDIP Megawati yang cenderung mengail di air keruh. Betapa besar nikmat Allah yang dilimpahkan kepada Pak Dur yang tidak dilimpahkan kepada yang lain. Namun perlu diingat semuanya adalah cobaan. Bila Pak Dur berhasil mengemban amanat keumatan dan ketuhanan, maka kebahagiaan yang akan didapat. Namun jika gagal, Allah Maha Tahu akibat terbaik bagi hamba yang mengingkari nikmat-Nya. Taubat Nasional adalah Solusi Melalui tulisan ini, penulis menyerukan seperti yang diserukan Amin Rais tokoh reformis kita beberapa tahun lalu untuk melakukan taubat nasioal, bila memang kita serius ingin keluar dari kemelut yang ada. Sepatutnya taubat tersebut dilengkapi dengan kesadaran kejiwaan yang tercermin dari poin-poin di bawah ini:
Alkisah suatu masa di jaman Harun al Rasyid, ada seorang pangeran wilayah sangat senang dipuja. Dalam sebuah jamuan, si pangeran hadir biasa tanpa busana kesultanan. Kendati demikian si pangeran bertanya kepada rakyat yang ada saat itu tentang jubah, gamis, mahkota, dan busana yang sama sekali tidak dipakainya. Namun karena rakyat yang dipimpin dalam kondisi buta maknawi, semua serentak mengatakan ketakjubannya. Demikianlah, bila rakyat sudah tidak ‘melek’, maka apapun yang dilakukan sosok yang dicintainya akan indah di matanya. Kendati yang dilakukan merupakan perbuatan amoral yang tidak dibenarkan agama manapun. Betapa Indonesia tengah membutuhkan peminpin yang melek agar bisa menyadarkan kebutaan rakyatnya. Sebab ketika rakyat sudah buta, maka yang memimpin adalah pemimpin yang buta hati. Dan sebaliknya jika pemimpin buta, maka ia sangat mampu membutakan rakyatnya. Semoga Allah SWT tetap melindungi orang-orang yang tengah berjuang di jalan-Nya. Amin
***
|
|
|
artikel
Rabu 21 Februari 2001 07.43 WIBMeriahkan Dunia Dengan Menikah Oleh : Ir. Drs. Abu Ammar, MM Jakarta PeKa Online, Islam adalah agama yang syumul (universal). Agama yang mencakup semua sisi kehidupan. Tidak ada suatu masalahpun dalam kehidupan ini yang tidak dijelaskan. Dan tidak ada satupun masalah yang tidak disentuh nilai Islam, walau masalah tersebut nampak kecil dan sepele (ringan). Itulah Islam, agama yang memberi rahmat bagi sekalian alam. Dalam masalah pernikahan, Islam telah berbicara banyak. Mulai dari bagaimana mencari kriteria bakal calon pendamping hidup hingga bagaimana memperlakukannya kala resmi menjadi sang penyejuk hati. Islam menuntunnya. Begitupula Islam mengajarkan bagaimana mewujudkan sebuah pesta pernikahan yang meriah, namun tetap mendapatkan berkah dan tidak melanggar tuntunan sunnah Rasulullah shallallhu 'alaihi wa sallam. Begitupula dengan pernikahan yang sederhana namun tetap penuh dengan pesona. Islam mengajarkannya. Menikah merupakan jalan yang paling bermanfa'at dan paling afdhal dalam upaya merealisasikan dan menjaga kehormatan. Dengan menikah seseorang bisa terjaga dirinya dari apa yang diharamkan Allah SWT. Oleh sebab itulah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mendorong untuk mempercepat nikah, mempermudah jalan untuknya dan memberantas kendala-kendalanya. Nikah merupakan jalan fitrah yang bisa menuntaskan gejolak biologis dalam diri manusia. Nikah mengangkat cita-cita luhur yang kemudian dari persilangan syar'i tersebut sepasang suami istri dapat menghasilkan keturunan. Melalui perannya bumi ini menjadi semakin semarak. Melalui risalah (tulisan) singkat ini, anda saya ajak untuk bisa mempelajari dan menyelami tata cara pernikahan Islam yang begitu agung nan penuh nuansa. Anda akan diajak untuk meninggalkan tradisi-tradisi masa lalu yang penuh dengan upacara-upacara dan adat istiadat yang berkepanjangan dan melelahkan. Mestikah kita bergelimang dengan kesombongan dan kedurhakaan hanya lantaran sebuah pernikahan ..? Na'udzu billahi tsumma na'udzu billahi min dzalik. Wallahu musta'an. Muqaddimah Lembaga ini merupakan pusat bagi lahir dan tumbuhnya Bani Adam yang kelak mempunyai peranan kunci dalam mewujudkan kedamaian dan kemakmuran di muka bumi ini. Menurut Islam, Bani Adamlah yang memperoleh kehormatan untuk memikul amanah Illahi sebagai khalifah di muka bumi, sebagaimana firman Allah Ta'ala: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat : "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata : "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di muka bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau ?. Allah berfirman : "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui". (Al-Baqarah: 30). Pernikahan merupakan persoalan penting dan besar. 'Aqad nikah (pernikahan) adalah sebagai suatu perjanjian yang kokoh dan suci (MIITSAAQON GHALIIZHOO), sebagaimana firman Allah Ta'ala: Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami istri dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat". (An-Nisaa' : 21). Karena itu, diharapkan semua pihak yang terlibat di dalamnya, khususnya suami istri, memelihara dan menjaganya secara sunguh-sungguh dengan penuh tanggung jawab. Agama Islam telah memberikan petunjuk yang lengkap dan rinci terhadap persoalan pernikahan. Mulai dari anjuran menikah, cara memilih pasangan yang ideal, melakukan 'khitbah' (peminangan), mendidik anak, memberikan jalan keluar jika terjadi kemelut dalam rumah tangga, sampai dalam proses nafaqah (memberikan nafkah) dan harta waris, semua diatur oleh Islam secara rinci dan detail. Selanjutnya untuk memahami konsep Islam tentang pernikahan, maka rujukan yang paling sah dan benar adalah Al-Qur'an dan As-Sunnah Shahih (yang sesuai dengan pemahaman Salafus Shalih). Melalui rujukan ini kita akan dapati kejelasan tentang aspek-aspek pernikahan maupun beberapa penyimpangan dan pergeseran nilai pernikahan yang terjadi di masyarakat. Tentu saja semua persoalan tersebut tidak dapat saya (penulis) tuangkan dalam tulisan ini. Hanya beberapa persoalan yang perlu dibahas yaitu tentang : Fitrah Manusia, Tujuan Perkawinan dalam Islam, Tata Cara Perkawinan dan Penyimpangan Dalam Perkawinan. Pernikahan adalah Fitrah Kemanusiaan Pernikahan adalah fitrah kemanusiaan ('gharizah insaniyah'/naluri kemanusiaan). Karena itu Islam menganjurkan untuk menikah. Bila gharizah ini tidak dipenuhi dengan jalan yang sah yaitu pernikahan, maka ia akan mencari jalan-jalan syetan yang banyak menjerumuskan ke lembah hitam. Firman Allah Ta'ala: Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah) ; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus ; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui". (Ar-Ruum :30). Islam telah menjadikan ikatan pernikahan yang sah berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah sebagi satu-satunya sarana untuk memenuhi tuntutan naluri manusia yang sangat asasi serta sarana untuk membina keluarga yang Islami. Penghargaan Islam terhadap ikatan pernikahan besar sekali, sampai-sampai ikatan itu ditetapkan sebanding dengan separuh agama. Anas bin Malik radliyallahu 'anhu berkata: "Telah bersabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam: Barangsiapa menikah, maka ia telah melengkapi separuh dari agamanya. Dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah dalam memelihara yang separuhnya lagi". (Hadist Riwayat Thabrani dan Hakim). Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan untuk menikah dan melarang keras kepada orang yang tidak mau menikah. Anas bin Malik radliyallahu 'anhu berkata: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk nikah dan melarang kami membujang dengan larangan yang keras". Dan beliau bersabda: "Artinya : Nikahilah perempuan yang banyak anak dan penyayang. Karena aku akan berbanggga dengan banyaknya umatku dihadapan para Nabi kelak di hari kiamat". (Hadits Riwayat Ahmad dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban). Pernah suatu ketika tiga orang shahabat datang bertanya kepada istri-istri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tentang peribadatan beliau. Setelah mendapat penjelasan, masing-masing ingin meningkatkan peribadatan mereka. Salah seorang berkata: "Adapun saya, akan puasa sepanjang masa tanpa putus". Yang lain berkata: "Adapun saya akan menjauhi wanita, saya tidak akan kawin selamanya".... Ketika hal itu didengar oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau keluar seraya bersabda: "Benarkah kalian telah berkata begini dan begitu ?. Demi Allah, sesungguhnya akulah yang paling takut dan taqwa di antara kalian. Akan tetapi aku berpuasa dan aku berbuka, aku shalat dan aku juga tidur dan aku juga mengawini perempuan. Maka barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku, maka ia tidak termasuk golonganku". (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim). Orang yang mempunyai akal dan bashirah tidak akan mau menjerumuskan dirinya ke jalan kesesatan dengan memilih hidup membujang. Menurut Syaikh Hussain Muhammad Yusuf: "Hidup membujang adalah suatu kehidupan yang kering dan gersang. Hidup yang tidak mempunyai makna dan tujuan. Suatu kehidupan yang hampa dari berbagai keutamaan insani yang pada umumnya ditegakkan atas dasar egoisme dan mementingkan diri sendiri serta ingin terlepas dari semua tanggung jawab". Orang yang membujang pada umumnya hanya hidup untuk dirinya sendiri. Mereka membujang bersama hawa nafsu yang selalu bergelora, hingga kemurnian semangat dan rohaninya menjadi keruh. Mereka selalu berada dalam pergolakan melawan fitrahnya. Kendati ketaqwaan mereka dapat diandalkan, namun pergolakan yang terjadi secara terus menerus lama kelamaan akan melemahkan iman dan ketahanan jiwa serta mengganggu kesehatan dan akan membawanya ke lembah kenistaan. Jadi orang yang enggan menikah baik laki-laki atau wanita, maka mereka itu sebenarnya tergolong orang yang paling sengsara dalam hidup ini. Mereka itu adalah orang yang paling tidak menikmati kebahagian hidup, baik kesenangan bersifat sensual maupun spiritual. Mungkin mereka kaya, namun mereka miskin dari karunia Allah. Islam menolak sistem ke-'rahib-an' karena sistem tersebut bertentangan dengan fitrah kemanusiaan. Sikap itu melawan sunnah dan kodrat Allah Ta'ala yang telah ditetapkan bagi semua mahluknya. Sikap enggan membina rumah tangga karena takut miskin adalah sikap orang jahil (bodoh), karena semua rezeki sudah diatur oleh Allah sejak manusia berada di alam rahim. Manusia tidak bisa menteorikan rezeki yang diakaruniakan Allah, misalnya ia berkata : "Bila saya hidup sendiri gaji saya cukup, tapi bila punya istri tidak cukup ?!". Perkataan ini adalah perkataan yang batil dan bertentangan dengan ayat-ayat Allah dan hadits-hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Allah memerintahkan untuk nikah. Seandainya mereka fakir pasti Allah akan membantu dengan memberi rezeki kepadanya. Allah menjanjikan suatu pertolongan kepada orang yang nikah. Firman-Nya: "Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui". (An-Nur : 32). Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menguatkan janji Allah itu dengan sabdanya: "Ada tiga golongan manusia yang berhak Allah tolong mereka, yaitu seorang mujahid fi sabilillah, seorang hamba yang menebus dirinya supaya merdeka, dan seorang yang menikah karena ingin memelihara kehormatannya". (Hadits Riwayat Ahmad, Nasa'i, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Hakim dari shahabat Abu Hurairah radliyallahu 'anhu). Para salafus shalih sangat menganjurkan untuk nikah. Mereka anti membujang dan tidak suka berlama-lama hidup sendiri. Ibnu Mas'ud radliyallahu 'anhu pernah berkata : "Jika umurku tinggal sepuluh hari lagi, sungguh aku lebih suka menikah daripada aku harus menemui Allah SWT sebagai seorang bujangan". (Ihya Ulumuddin hal. 20). Tujuan Pernikahan dalam Islam
Islam telah memberikan konsep yang jelas tentang tatacara pernikahan berlandaskan Al-Qur'an dan Sunnah yang shahih (sesuai dengan pemahaman para Salafus Shalih). Secara singkat saya (penulis) sebutkan tahapannya dan jelaskan seperlunya:
Sebagian Penyelewengan Seputar Pernikahan
Dalam rumah tangga yang Islami, suami-istri harus saling memahami kekurangan dan kelebihannya serta harus tahu pula hak dan kewajibannya serta memahami tugas dan fungsinya masing-masing yang harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab. Dengan demikian upaya untuk mewujudkan pernikahan dan rumah tangga yang mendapat keridha'an Allah SWT dapat terealisir. Tetapi mengingat kondisi manusia yang tidak bisa lepas dari kelemahan dan kekurangan, sementara ujian dan cobaan selalu mengiringi kehidupan manusia, maka tidak jarang pasangan yang sedianya hidup tenang, tentram dan bahagia mendadak dilanda "kemelut" perselisihan dan percekcokan. Bila sudah diupayakan untuk damai (sebagaimana disebutkan dalam surat An-Nisaa : 34-35) namun tetap gagal, maka Islam memberikan jalan terakhir, yaitu "perceraian". Marilah kita berupaya untuk merealisasikan pernikahan secara Islam dan membina rumah tangga yang Islami. Disamping itu wajib bagi kita meninggalkan aturan, tatacara, upacara dan adat istiadat yang bertentangan dengan Islam. Hanya Islam satu-satunya ajaran yang benar dan diridhai Allah Subhanahu wa Ta'ala (Ali-Imran : 19). "Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri dan keturunan yang menyejukkan hati kami, dan jadikanlah kami Imam bagi orang-orang yang bertaqwa". (Al-Furqan ; 25:74 ). Amiin.
*** (penulis adalah fungsionaris DPC PK Pesanggrahan, Jakarta Selatan)
|
|
|
artikel
Jum'at 5 Januari 2001 13.32 WIBSejauh Mana Kesiapan Kita Menghadapi Otonomi Daerah? oleh Ir. Lalu Suryade *) Bogor PeKa Online, Selalu saja diperlukan pertanyaan-pertanyaan seperti judul di atas di tengah kesimpangsiuran dan kondisi tidak menentu dalam perkembangan ketatapemerintahan di tanah air. Betapa tidak, Pasal 132 UU No. 22 Tahun 1999 telah memberi batas waktu bahwa sekurang- kurangnya 1 tahun sejak undang-undang tersebut ditetapkan (7 Mei 1999), ketentuan pelaksanaan sebagai tindak lanjutnya harus sudah diselesaikan. Namun sekalipun batas waktu tersebut sudah jauh dilewati, perangkat- perangkat pelaksanaannya belum juga tuntas. Ini baru masalah kelengkapan yuridis. Belum lagi bila berbicara masalah kesiapan daerah dari aspek kelembagaan, sumber daya alam dan sumber daya manusianya. Sebagaimana diungkapkan di harian Kompas (Kamis, 30 Nopember 2000) yang merangkum hasil diskusi panel yang diselenggarakan di Semarang 18 Nopember 2000, ada beberapa indikasi belum mencukupinya kesiapan daerah untuk menyongsong otonomi yang diharapkan berlaku efektif Januari 2001 dengan studi kasus Jawa Tengah. Sekalipun ruang lingkup Jawa Tengah yang dijadikan sampel, namun kondisi daerah-daerah di tanah air tidak jauh berbeda karena warna sentralisasi yang diterapkan sama kentalnya. Otonomi daerah ini sebetulnya banyak memberi harapan kepada kita untuk memperbaiki tingkat hidup dan kesejahteraan rakyat dengan berbagai alasan. Alasan tersebut antara lain untuk mendekatkan proses pelayanan kepada rakyat, pembangunan yang relatif merata di seluruh tanah air, peningkatan peran sosial politik masyarakat di daerah untuk menentukan kualitas kehidupannya, memberikan dorongan kepada daerah untuk menggali sumber daya alam di lingkungannya, dan lain sebagainya. Harapan ini masih selalu kita pertahankan di tengah-tengah kekhawatiran yang membayangi. KKN di Daerah Kondisi ini diperparah dengan belum berkembangnya sistem dan mekanisme kontrol terhadap jalannya pemerintahan yang efektif. Lembaga legislatif belum berfungsi efektif dan telah banyak kita dengar gugatan-gugatan masyarakat terhadap kinerjanya. Pers daerah sangat minim dengan kualitas pemberitaan yang kita ketahui bersama. Mahasiswa sebagai pengemban moralitas bangsa tidak begitu tertarik untuk berkecimpung dalam isu-isu daerah. Mereka lebih terdorong untuk berbicara masalah-masalah nasional. Jadi, dengan demikian kalimat-kalimat indah tentang reformasi, baik itu menyangkut pemberantasan KKN, transparansi dan akuntabilitas publik, good governance, supremasi hukum dan lain-lain terasa masih di awang- awang. Dalam kondisi seperti ini, dapat kita bayangkan sebuah kasus berikut. Jika dahulu iuran dari penebangan hutan yang disebut dana reboisasi (DR) itu terkumpul di pemerintah pusat dan kemudian disimpangkan untuk membuat pesawat terbang, lebih mudah dideteksi. Maka jika dana itu disebarkan kepada 29 propinsi dimana terdapat lebih dari 350 daerah kabupaten/kota kemudian terjadi penyimpangan, besar kesulitan yang dihadapi untuk mengetahui siapa yang menyalahgunakan dana tersebut, dimana dan untuk tujuan apa. *** )* Anggota DPRD Asal Partai Keadilan (ADAPK) Kabupaten Bogor
|
|
|
artikel
Sabtu 27 Januari 2001 07.12 WIBMenyoroti Peran Ulama (3) Ulama Sebagai Pemberi Peringatan Kepada Penguasa Oleh: H Rokib Abdul Kadir Lc*) Jakarta PeKa Online, Penguasa atau umara' adalah pelaku terpenting dalam kehidupan bermasyarakat. Ia adalah bagian kecil dari masyarakat yang mendapatkan kesempatan untuk menentukan hajat hidup orang banyak. Kepada mereka inilah hendaknya ulama memberikan perhatian khusus dalam menyampaikan kebenaran. Semakin mudah penguasa menerima nasehat ulama, akan semakin sejahtera pula kehidupan masyarakat. Sebaliknya penguasa yang sulit menerima nasehat ulama hanya akan membawa rakyatnya pada jurang kesengsaraan. Lord Acton menyatakan bahwa "power tends to corrupt"(kekuasaan cenderung untuk korup/melakukan penyimpangan). Sementara Rasulullah SAW menyatakan dalam hadistnya: "Jihad yang paling utama adalah menyampaikan kebenaran kepada penguasa zalim" (HR Ahmad dan Thabrani). Dengan segala fasilitas dan kemudahan yang dimilikinya, penguasa memiliki kecenderungan yang sangat besar untuk melakukan penyimpangan dan Rasulullah bahkan memberikan gambaran bahwa menyampaikan kebenaran kepada penguasa zalim lebih utama daripada jihad dalam peperangan. Tidak dapat disangkal, yang mampu menyampaikan kebenaran kepada penguasa zalim hanyalah para ulama. Disini dituntut kearifan dan keikhlasan ulama dalam memberi peringatan. Ibarat mendidik seorang anak untuk shalat, jika ia telah berumur 7 tahun namun masih membantah untuk melakukan shalat maka Islam mengajarkan agar anak tersebut diberi pukulan yang mendidik. Demikian pula terhadap penguasa yang sudah melakukan penyimpangan, ulama harus memiliki keberanian untuk peringatan terhadap figur kepemimpinan yang demikian. Bahkan suatu saat ketika penyimpangan penguasa sudah tidak mungkin lagi ditolerir, ulama hendaknya tampil pada posisi terdepan untuk menolak figur pemimpin tersebut. Umat saat ini merindukan tampilnya sosok semacam KH Zainal Musthofa dari Singaparna (Tasikmalaya, Jawa Barat) yang dengan tegas menolak kezhaliman tentara Jepang meskipun harus berhadapan dengan kematian. Penguasa-penguasa negeri ini setelah penjajahan Jepang juga melakukan kezhaliman yang tidak kalah ganasnya terhadap ummat Islam, namun belum ada sosok ulama ikhlas yang mampu menolak kezhaliman seperti beliau. Sukarno dengan orde lama-nya telah mencampur adukkan agama dengan politik Nasakom-nya. Sementara itu luka ummat akibat penindasan Suharto dengan Orde Baru-nya masih terasa berdarah-darah. Ulama dan ummat Islam selalu menjadi korban dari isu buatan orde baru seperti kasus Tanjung Priok, Komando Jihad, dan berbagai isu lainnya. Dalam kondisi seperti ini, ulama hendaklah mampu menjadi pelopor bagi tumbangnya kezhaliman. Namun kenyataan ternyata berbicara lain. Saat ini ummat semakin dibuat kehilangan pegangan dengan tampilnya sosok seorang pemimpin bangsa yang oleh sebagian kalangan disebut sebagai "ulama". Ummat yang sekian lama terkungkung dalam penindasan ideologis kehilangan daya kritis terhadap sebutan "ulama" dan memberikan dukungan membabi buta terhadap sosok pemimpin yang tidak membawa aspirasi umat. Pada hari-hari pertama kepemimpinannya, "sang ulama" tersebut sudah mengungkapkan keinginannya untuk membuka hubungan dengan Israel. Padahal mungkinkah ummat Islam Indonesia bersedia membuka hubungan dengan negara imperealis tersebut sementara bangsa tersebut terus membunuh saudaranya sesama muslim di Palestina? Setelah itu berbagai pernyataan yang memojokkan ummat Islam terus bermunculan seperti tuduhan bahwa kerusuhan di Ambon adalah akibat pemerintah sebelumnya lebih berpihak kepada ummat Islam. Terakhir "sang ulama" tersebut lebih percaya kepada BPPT sebagai lembaga yang tidak berkompeten untuk menghalal-haramkan sebuah produk kunsumsi kemudian seorang diri (tanpa berdiskusi dengan ulama lain) menyatakan halal kepada sebuah produk yang sudah dinyatakan haram oleh Dewan Fatwa Majelis Ulama Indonesia. Pada saat saat seperti sekarang ini kembali kita bertanya, sejauh mana peranan ulama dalam membela kepentingan ummat ? Sejauh mana ulama telah mengambil posisi sebagai penerus risalah yang dibawa oleh para rasul ? Dan sejauh mana kepantasan seseorang untuk mendapatkan sebutan sebagai ulama ? Ulama su' melihat kondisi masyarakat sekarang ini sebagai kesempatan untuk mendapatkan pengaruh. Keterbatasan pemahaman masyarakat awam digunakan sebagai modal untuk mendapatkan dukungan atas berbagai penyimpangan yang dilakukannya sebagaimana ulama Bani Israil terdahulu. Sementara ulama ikhlas akan dengan jujur memberikan penilaian, pandangan, kritikan, bahkan penentangan terhadap siapapun figur yang memegang kekuasaan pada setiap zaman. Hanya ulama yang ikhlas-lah yang mampu memberikan peringatan kepada pemimpin yang juga mendapatkan sebutan "ulama". Karena sebutan ulama sebenarnya merupakan pemberian Allah kepada hamba-hamba yang telah memenuhi kriteria yang telah ditetapkan oleh Allah sendiri. Pemahaman terhadap Al Quran, hadist nabi, berbagai hukum Islam, dan ilmu-ilmu yang lain bukanlah jaminan seseorang mendapatkan gelar ulama selama orang tersebut tidak merasa takut kepada Allah dan adzab di akhirat kelak. Pada akhirnya, hanya ulama ikhlas-lah yang akan terlebih dahulu melangkah ke dalam surga karena rasa takutnya kepada Allah. Karena rasa takutnya itu ia menjalankan fungsi sebaik-baiknya sebagai tempat rujukan umat dalam berbagai permasalahan dan sebagai pemberi peringatan terhadap penguasa. Adapun ulama su' akan menempati neraka yang paling dasar karena pengetahuan yang dimilikinya tidak memberikan manfaat apapun kepada ummat. Ia memberikan nasehat yang menyimpang dari aturan Allah ketika ummat bertanya kepadanya. Ia memberikan dukungan kepada penguasa zhalim ketika telah jelas baginya bentuk-bentuk kezhaliman yang tengah berlangsung.
*** (Anggota DPR-RI Asal Partai Keadilan (ADAPK)/Pengasuh PP Al Falah Lampung)Artikel Sebelumnya:
|
|
|
artikel
Jum'at 26 Januari 2001 07.07 WIBMenyoroti Peran Ulama (2) Ulama Sebagai Rujukan Ummat Oleh: H Rokib Abdul Kadir Lc*) Jakarta PeKa Online, Kata "ulama" yang dikenal dalam bahasa Indonesia berasal dari istilah dalam Al Quran maupun hadist. Dalam salah satu firman-Nya Allah SWT menyebutkan: "sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama" (QS Fathir 28). Dalam kesempatan lain Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya ulama adalah ahli waris para nabi" (HR Ibnu Majah), dan: "Ulama adalah penerang dunia, khilafah segenap para nabi, ahli waris (ajaranku) dan ahli waris seluruh nabi" (HR Ibnu Adi dari Ali). KH Hasan Bashri, mantan Ketua Umum MUI memberikan keterangan lebih luas dengan menyebutkan bahwa sebagai mishbahul ardhi (penerang dunia), ulama menjadi penerang dan penuntun umat mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat. Sebagai khulafaul anbiya (khilafah para nabi), ulama menjadi penggerak dan pendorong umat membangun kehidupan pribadi, keluarga, dan masyarakat. Sebagai waratsatul anbiya (ahli waris para nabi), ulama adalah pemegang estafet perjuangan para nabi dalam menyiarkan dan melestarikan risalah ilahiyah. (Dilema Ulama, KH Badrudin Hsubky, GIP Jakarta, 1995). Sebagai pewaris para nabi, ulama memiliki tugas yang sama dengan nabi-nabi yang diutus Allah SWT, yaitu: "membacakan kepada mereka (umat manusia) ayat-ayat-Nya, mensucikan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka kitab dan hikmah" (QS Al Jumu'ah: 2). Tugas-tugas ini merupakan warisan amanah yang berkesinambungan sejak zaman Nabi Adam as sampai hari kiamat kelak. Sepanjang sejarah perjalanan bangsa Indonesia, ulama selalu menempati posisi yang sangat menentukan. Pergerakan dan perjuangan bangsa Indonesia tidak mungkin dilepaskan dari peran serta ulama. Dengan keikhlasan dan kesungguhan hati, mereka membimbing umat kepada keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT. Para ulama berperan penting sebagai penggerak umat dalam merebut, mempertahankan dan mengisi kemerdekaan. Karena kebijaksanaan dan keindahan perilaku panutan umat inilah masyarakat memberikan gelar kehormatan seperti kyai, buya, ajengan, dan sebutan lainnya. Perkembangan zaman selanjutnya menunjukkan telah terjadi degradasi dan deviasi terhadap peran ulama sebagai rujukan masyarakat. Sebagian kecil ulama (ulama su'/ulama jahat) tergoda oleh kenikmatan dunia dan terkooptasi oleh kekuasaan. Mereka (dengan segala fasilitas yang ada) ditampilkan ke tengah umat sebagai corong kekuasaan tanpa memiliki daya kritis apapun. Masa pemerintahan rezim orde lama dan orde baru telah mempertontonkan kepada kita betapa berbahayanya keberadaan para ulama su' ini di tengah masyarakat. Ketika ulama-ulama yang ikhlash mengkritisi sebuah kebijakan pemerintah yang dianggap menyimpang, dengan serta merta para ulama su' yang dibantu segenap media massa dan jajaran birokrasi berbuat sebaliknya yaitu memberikan dukungan kepada penguasa agar segera mendapatkan hadiah dan pujian. Suara-suara kebenaran yang berasal dari hati yang bersih hanya terdengar di sudut-sudut masjid lalu terlupakan ketika bubar dari majlis dzikir. Sementara ulama su' menyuarakan dukungannya di televisi, radio, surat kabar dengan berulang-ulang. Suara kebenaran difitnah sebagai suara subversif yang tidak boleh mendapatkan tempat dalam kehidupan bermasyarakat. Akibatnya terjadi kegamangan di tengah umat. Umat menjadi bingung dalam memilih suara siapa yang harus diikuti karena setiap pendapat selalu menyertakan dalil yang tidak banyak dipahami oleh kalangan awam. Selanjutnya umat akan memilih suara siapa yang lebih sesuai dengan hawa nafsunya. Sementara para ulama su' akan berlomba-lomba memberikan dukungan terhadap segala bentuk kebijakan asalkan bisa memberikan manfaat duniawi bagi dirinya. Proses yang berlangsung selama rezim Soekarno dan Soeharto ini menimbulkan kerusakan yang luar biasa dalam tatanan kehidupan bangsa Indonesia. Ulama tidak lagi menjadi rujukan masyarakat dalam kehidupannya sehari-hari. Bahkan sebagian masyarakat sudah menganggap bahwa merujuk permasalahan kepada para ulama sebagai ketinggalan zaman. Semakin berpendidikan seseorang mungkin akan semakin alergi untuk bertanya kepada ulama jika ia menemukan persoalan dalam kehidupannya. Ahli kesehatan lebih dipercaya untuk menentukan haram-halalnya merokok, ahli kependudukan lebih dipercaya dalam menentukan jumlah anak dalam keluarga, ahli ekonomi lebih dipercaya dalam menata perekonomian bangsa, dan segala bidang lainnya dirujuk kepada ahlinya masing-masing tanpa mempertimbangkan tingkat keimanan para ahli tersebut dan tanpa mengikut sertakan peran ulama. Agar kehidupan ummat kembali kepada tuntunan Rasulullah SAW, fungsi ulama sebagai rujukan umat atas berbagai persoalan hendaknya segera dikembalikan. Tidak ada yang bisa mengembalikan fungsi ini kecuali ulama itu sendiri. Ulama harus mampu berdiri pada posisi paling depan dalam menentukan halal-haramnya sebuah produk konsumsi tanpa dipengaruhi kepentingan apapun kecuali berharap pahala dari Allah SWT. Ulama harus bisa bersikap tegas terhadap maraknya pornografi di tengah masyarakat, minuman keras yang beredar disekitar rumah kediamannya, perzinahan yang mendapatkan legalitas dari penguasa atas nama pariwisata, budaya korupsi-kolusi dan nepotisme yang begitu kronis, serta berbagai penyakit masyarakat lain yang menuntut perbaikan dengan segera. Solusi atas berbagai problematika ini ada di tangan ulama. Alangkah hinanya jika ada ulama yang terlibat dan menikmati praktek haram tersebut. (bersambung…)
*** (Anggota DPR-RI Asal Partai Keadilan (ADAPK))Artikel Sebelumnya:
|
|
|
artikel
Jum'at 2 Februari 2001 07.10 WIBPerubahan Dalam Kehidupan Manusia Oleh : Drs. Ir. Abu Ammar, MM "Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertolongan (kepada orang-orang muhajirin) mereka itu satu sama lain lindung-melindungi" (QS. Al Anfal (8): 72) Jakarta PeKa Online, Apakah yang akan dihasilkan Islam, jika diletakan dalam kehidupan ? Islam rentetan ibadah yang tidak membawa kepada perubahan wajah kehidupan manusia. Syahadat bukan sekedar jampi yang menjamin menuju surga. Shalat bukan sekedar rangkaian gerak yang tanpa makna. Demikian ibadah-ibadah dalam Islam menghasilkan perubahan dalam kehidupan manusia. Perubahan apakah yang diinginkan syari’at Islam ? Paling tidak ada 4 perubahan setelah ditetapkannya nilai-nilai Islam dalam kehidupan manusia, yaitu:
(penulis adalah fungsionaris DPC PK Pesanggrahan, Jakarta Selatan)
|
|
|
artikel
Jum'at 30 Maret 2001 05.39 WIBReorientasi Ibadah Haji Oleh: Iko Musmulyadi Jakarta PeKa Online "Sesungguhnya menyelamatkan Bosnia harus didahulukan daripada kewajiban menunaikan ibadah haji" (Ustadz Fahmi Huwaidi di Mesir). Kalimat yang lantang dan terkesan menantang itu agaknya tidaklah begitu berlebihan kalau kita memiliki visi Islam yang jauh ke depan. Paradigma berfikir yang integral dan komprehensif akan membawa kita kepada pola fikir yang berorientasi prioritas (baca : Fiqh Aulawiyat). Dalam konteks yang satu ini tidak semua muslim paham dengan konsep yang sesungguhnya. Ada apa sebenarnya ? Fenomena apa yang melatarbelakangi pernyataan Ustadz diatas. Sebuah tanda tanya besar yang jawabannya terekam dalam "kendurian massal umat Islam di Mekah Al-Mukaromah". Tulisan yang sederhana ini mencoba menawarkan suatu alternatif pemecahan masalah umat berdasarkan pendekatan pemahaman konsep prioritas. Musim haji yang menyedot perhatian umat Islam tahun ini sudah berakhir beberapa pekan yang lalu. Saya kira tidak ada salahnya kalau sekarang ini kita melakukan supervisi penyelenggaraan ibadah haji. Sering kita menyaksikan, "rapat akbar" umat Islam itu dihadiri oleh manusia yang jumlahnya lebih banyak ketimbang tahun-tahun sebelumnya. Tidak ketinggalan rombongan jamaah haji dari negeri kita. Malah sudah menjadi agenda tahunan terjadi deretan panjang Waiting List. Sampai-sampai pemerintah akan menerapkan sistem daftar tunggu haji baik satu, dua, tiga atau empat tahun ke depan. Seorang pendaftar haji tahun 2000 misalnya, mungkin baru bisa berangkat tahun 2003 nanti. Jati time waitingnya lebih lama lagi. Malaysia dan Brunei sudah lebih dulu menerapkan sistem ini. Berdasarkan kuota yang telah disepakati bersama pada keputusan OKI di Amman tahun 1987 maka dengan terpaksa dilakukan limitasi terhadap jumlah jamaah haji. Tidak hanya di Indonesia tapi juga berlaku bagi umat Islam di negara lain. Agaknya fenomena melubernya jamaah haji setiap tahun sudah menggeneralisir secara global. Melihat hal itu setidaknya ada dua point yang menggembirakan kita umat Islam. Pertama, menunjukkan terjadinya peningkatan kesadaran beragama, artinya bahwa Islam sudah mulai dan banyak diterima oleh berbagai lapisan masyarakat. Kedua, fenomena ini mengindikasikan bahwa tingkat perekonomian sebagian umat Islam relatif tinggi. Apalagi ada yang sampai lebih dari satu kali menunaikan ibadah haji. Di satu sisi keadaan yang demikian patut kita banggakan. Namun kalau kita cermati lebih dalam lagi ternyata tidaklah demikian. Malah membuat kita terenyuh. Betapa tidak, terlepas dari mabrur atau tidaknya ibadah haji seseorang. Kecenderungan yang nampak sekarang ini adalah menjadi suatu kebanggaan bagi seseorang yang menunaikan ibadah haji berulang kali. Ternyata landasan berpijak mereka belum tegak di atas nash yang sebenarnya. Keprihatinan itu muncul karena mencermati kondisi umat Islam hari ini, yaitu pertama adanya jurang yang menganga lebar antara si kaya dan si miskin. Kondisi ini tercermin dalam realita yang begitu kontradiksi sekali. Bandingkan ada umat Islam yang menunaikan ibadah haji berkali-kali (refleksi kemakmuran) dengan menjamurnya gubuk reot di kantong-kantong Islam (refleksi kemiskinan). Kedua, melemahnya rasa persaudaraan di kalangan kaum muslimin. Saat ini umat sudah terkota-kotak secara geografis namun banyak yang tidak menyadari. Berlepas diri terhadap nasib yang menimpa umat Islam baik di dalam maupun di negeri lain. Ketiga, pemahaman umat tentang konsep prioritas yang shahih masih minim. Padahal kesalahan yang demikian berakibat fatal bagi umat Islam secara keseluruhan. Yang terakhir ini barangkali belum banyak diperbincangkan. Ustadz Yusuf Qardhawi, dalam Kitab Fiqh Aulawiyat-nya menyatakan bahwa kebanyakan orang yang berjejal-jejal pada musim haji setiap tahunnya tidak berkewajiban melaksanakan ibadah haji. Karena mereka telah menunaikan haji pada tahun sebelumnya. Yang baru pertama kali berhaji tidak sampai lebih dari 15% dari jumlah keseluruhan para hujaj. Jika mereka yang berhaji kurang lebih dua juta orang, maka jumlah mereka yang baru sekali menunaikan ibadah haji biasanya tidak lebih dari 300.000 orang. Kondisi Umat Islam Mesin perang yang terus menderu di bumi Palestina misalnya, seakan menandakan perang tidak akan pernah berhenti. Pembantaian umat Islam juga berlangsung di dalam negeri seperti, di Ambon, Sampit, Poso, Aceh dan tempat-tempat lain. Sementara daerah yang aman konflik lebih diwarnai oleh kemiskinan dan kebodohan. Realitas pahit seperti itu hanya akan dirasakan oleh orang yang melihat dengan kaca mata rohani. Kekuatan ruhani (Quwwatul Ruhi) pada pribadi muslim akan mampu menerjemahkan Islam ke dalam pola fikir dan pola prilaku yang benar. Mendahulukan apa yang seharusnya didahulukan. Reorientasi Ibadah Haji & Upaya Pemberdayaan Ekonomi Umat Alangkah lebih baiknya kalau dana ibadah haji yang besar itu dialihkan untuk pembinaan umat yang kini berada diambang kehancuran material dan immaterial. Kalaulah kita mau merubah sikap dan orientasi demi saudara kita yang lain, satu hal yang sangat mendesak pada saat ini adalah memberikan pinjaman modal berusaha kepada mereka yang lemah ekonominya. Dari sini kita harapkan modal tersebut dapat mereka putar sehingga membantu kehidupan mereka yang selama selalu dalam keadaan kekurangan. Kalau demikian adanya berarti kita sudah melakukan suatu upaya pemberdayaan umat melalui pemberdayaan ekonominya. Dari sudut pandang sosial hal tersebut akan meningkatkan keharmonisan dalam hidup bermasyarakat dan menimbun jurang yang selama ini memisahkan mereka dalam pergaulan. Paradigma berfikir yang demikian agaknya semakin perlu disosialisasikan ditengah-tengah kebobrokan ekonomi umat. Tentunya pekerjaan ini tidak semudah membalikkan telapak tangan. Dalam hal ini harus ada kesatuan pandangan dari para tokoh agama tentang konsep prioritas. Kesatuan pandangan itulah yang nantinya dijadikan sebagai instrumen pengambil kebijakan. (penulis adalah Sekretaris Departemen Hukum & HAM DPP Partai Keadilan)
|
|
|
artikel
Senin 29 Januari 2001 11.22 WIBSebaik-baik Manusia oleh : Ir. Drs. Abu Ammar, MM Jakarta PeKa Online, Sungguh beruntung bagi siapapun yang dikaruniai kepekaan untuk mengamalkan aneka pernik peluang kebajikan yang diperlihatkan Allah SWT kepadanya. Beruntung pula orang yang dititipi Allah aneka potensi kelebihan sekaligus kesanggupan memanfaatkannya untuk kemaslahatan umat manusia. Hal ini karena derajat kemuliaan seseorang dapat dilihat dari sejauh mana dirinya punya nilai manfaat bagi orang lain. Sabda Rasulullah SAW: "Khairunnas anfa'uhum linnas" (Sebaik-baik manusia diantaramu adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain)" (HR. Bukhari dan Muslim). Hadits ini seakan mengatakan bahwa jikalau ingin mengukur sejauhmana derajat kemuliaan akhlak kita, maka ukurlah sejauhmana nilai manfaat diri kita ini? Kalau menurut Emha Ainun Nadjib, tanyakanlah pada diri ini apakah kita ini manusia wajib, sunnah, mubah, makhruh atau malah manusia haram? Apa itu manusia wajib? Manusia wajib ditandai jikalau adanya (dirinya) sangat dirindukan, sangat bermanfaat, bahkan pelakunya membuat hati orang disekitarnya tercuri (merasakan kehadirannya). Tanda-tanda yang nampak dari seseorang 'manusia wajib', diantaranya bahwa dia seorang pemalu yang jarang menganggu orang lain, sehingga orang merasa aman darinya. Perilaku kesehariannya lebih banyak kebaikannya daripada keburukannya. Ucapannya hemat dan terpelihara. Ia lebih banyak berbuat daripada berbicara. Sedikit kesalahannya, tidak suka mencampuri yang bukan urusannya, dan sangat nikmat kalau ia berbuat kebaikan. Hari-harinya tidak lepas dari menjaga silaturrahmi, sikapnya penuh wibawa, penyabar, selalu berterima kasih, penyantun, lemah lembut, bisa menahan dan mengendalikan diri, serta penuh kasih sayang. Ia hindari perilaku: mudah melaknat, memaki-maki, memfitnah, membicarakan yang dapat meresahkan orang lain, menggunjing, bersikap tergesa-gesa, dengki, bakhil ataupun menghasut. Sebaliknya ia senantiasa berwajah cerah, ramah tamah, mencintai karena Allah, membenci karena Allah dan marah pun karena Allah SWT. Subhanallah demikian indah hidupnya. Siapapun di dekatnya pastilah akan tercuri hatinya. Kata-katanya akan senantiasa terngiang-ngiang. Keramahannya pun benar-benar menjadi penyejuk bagi hati yang sedang membara. Jikalau saja orang berakhlak mulia ini tidak ada, maka siapapun akan merasa kehilangan, akan terasa ada sesuatu yang kosong di rongga kalbu ini. Orang yang wajib, adanya pasti penuh manfaat dan kalau tidak ada, siapapun akan merasa kehilangan. Begitulah kurang lebih perwujudan akhlak yang baik, dan ternyata ia hanya akan lahir dari semburat kepribadian yang baik pula. Apa itu manusia sunah ? Keberadaan manusia jenis ini bermanfaat. Tetapi kalaupun tidak ada, tidak tercuri hati kita. Tidak ada rongga kosong akibat rasa kehilangan. Hal ini terjadi mungkin karena kedalaman dan ketulusan amalnya belum muncul dari lubuk hati yang paling dalam. Hal ini karena hati akan tersentuh oleh hati lagi. Seperti halnya, kalau kita berjumpa dengan orang yang berhati tulus, perilakunya benar-benar akan meresap masuk ke rongga kalbu siapapun. Apa itu manusia mubah ? Karakteristiknya, ada atau tidak adanya tidak berpengaruh pada lingkungan sekitarnya. Di kantor, kerja atau bolos sama saja. Seorang pemuda yang ketika ada di rumah keadaan menjadi berantakan, dan kalau tidak adapun tetap berantakan. Inilah pemuda yang mubah. Ada atau tiadanya tidak membawa manfaat tetapi tidak juga membawa mudharat. Apa itu manusia makruh ? Keberadaannya membawa mudharat dan kalau dia tidak ada tidak berpengaruh. Artinya, kalau dia datang ke suatu tempat maka orang akan merasa bosan atau tidak senang. Misalnya, ada seorang ayah sebelum pulang dari kantor suasana rumah sangat tenang, tetapi seketika klakson dibunyikan tanda bahwa ayah sudah datang, anak-anak malah lari ke tetangga, ibu cemas dan pembantu pun sangat gelisah. Inilah seorang ayah yang keberadaannya menimbulkan masalah. Seorang anak yang makruh, kalau pulang sekolah justru masalah bermunculan. Sebaliknya, kalau tidak pulang suasana malah menjadi aman tentram. Ibu yang makruh diharapkan anak-anaknya untuk segera pergi arisan daripada ada dirumah. Sedangkan karyawan yang makruh, kehadirannya di tempat kerja hanya melakukan hal yang sia-sia daripada bersungguh-sungguh menunaikan tugas kerja. Apa itu tipe manusia haram ? Keberadaannya mendatangkan musibah, sedangkan ketiadaannya justru disyukuri. Jika pergi ke kantor, perlengkapan kantor banyak yang hilang. Jika orang ini dipecat, para karyawan yang lain sangat mensyukurinya. Mari kita merenung sejenak. Tanyakan pada diri ini apakah kita termasuk anak yang menguntungkan orang tua atau malah hanya jadi benalu saja? Masyarakat merasa mendapat manfaat tidak dengan kehadiran kita? Adanya kita di masyarakat sebagai manusia apa, wajib, sunnah, mubah, makruh atau haram? Mengapa setiap kita masuk ruangan, teman-teman malah menjauh ? apakah karena perilaku sombong kita atau yang lain ? Kepada ibu-ibu, hendaknya tanyakan pada diri masing-masing, apakah anak-anak kita sudah merasa bangga punya ibu seperti kita? Punya manfaatkah kita ini? Bagi ayah cobalah mengukur diri, saya ini seorang ayah atau seorang gladiator? Saya ini seorang pejabat atau seorang penjahat? Kepada para mubaligh, benarkah kita menyampaikan kebenaran atau hanya mencari penghargaan dan popularitas belaka? Saat bercermin seyogyanya kita tidak hanya memperhatikan wajah saja, tapi pandanglah akhlak dan perbuatan yang telah kita lakukan. Sayangnya, jarang orang berani jujur dengan tidak membohongi diri, seringnya malah merasa pinter padahal bodoh, merasa kaya padahal miskin, merasa terhormat padahal hina. Berlaku jujur kepada diri sendiri merupakan langkah awal menuju berakhlak baik kepada manusia lain. Kalau kita mendapati orangtua berakhlak buruk maka sadarilah bahwa kita adalah bagian dari darah dagingnya. Kita harus berada di barisan paling depan untuk membelanya demi keselamatan dunia dan akhiratnya. Bagi orangtua yang belum islam, maka sang anaklah yang bertanggung jawab mengikhtiarkan agar mendapat hidayah dari Allah SWT. Apabila orang tua berlumur dosa dan belum mau melakukan shalat, maka sang anaklah yang berada pada barisan pertama membantu orangtua menjadi seorang ahli ibadah dan ahli taubat. Ingatlah, walau bagaimanapun kita punya hutang budi pada orangtua. Keburukan yang ada pada mereka, jangan menjadikan kebencian, jangan pula menyalahkan dan menyesali diri, "Kenapa saya lahir dari orang tua yang sudah cerai?" misalnya. Atau adapula anak yang sibuk menyalahkan diri, karena tidak pernah tahu keberadaan orangtuanya. Sama sekali tidak akan menyelesaikan masalah jika hanya menyalahkan keadaan. Lebih baik tanyakan pada diri ini, apakah sudah punya manfaat tidak kita ini? Makin banyak manfaat yang kita lakukan dengan ikhlas, insya Allah itulah rizki kita. Begitu pula terhadap lingkungan, kita harus punya akhlak tersendiri. Seperti pada binatang, kalau tidak perlu tidak usah kita menyakitinya. Ada riwayat seorang ibu ahli ibadah, tapi Allah malah mencapnya sebagai ahli neraka. Mengapa? Ternyata karena sang ibu itu pernah mengurung kucing dalam sebuah tempat sehingga kucing itu tidak mendapat jalan keluar untuk mencari makan dan sang ibu itu tidak pula memberi makan. Sampai akhirnya kucing itu mati. Dengan demikian, walau ahli ibadah, tetap dilaknat Allah karena akhlaknya yang jelek pada makhluk lain. Kadang aneh juga kita ini. Ketika duduk di taman nan hijau, entah sadar atau tidak kita cabuti rumput atau daun-daunan yang ada tanpa alasan yang jelas. Padahal rumput, daun dan tumbuh-tumbuhan yang ada di alam semesta ini semuanya sedang bertasbih kepada-Nya. Yang lebih baik adalah jangan sampai ada makhluk apapun yang ada di lingkungan kita yang tersakiti. Termasuk ketika menyiram atau memetik bunga, tanaman, atau tumbuhan lainnya, hendaklah dilakukan dengan hati-hati karena tanaman juga mengerti apa yang dilakukan kita kepadanya. Dikisahkan, ketika Nabi Muhammad SAW pindah mimbar, yang asalnya menyandar pada sebuah pohon kurma, maka pohon kurma itu diriwayatkan sangat sedih dan menangis. Pasalnya ia telah ditinggalkan sebagai alat bantu Rasulullah SAW dalam menyampaikan ilmu kepada para sahabatnya. Kejadian lain adalah ketika seorang hamba yang shalih dihampiri seekor singa yang mengaum-ngaum seakan hendak menerkamnya. Tentu saja semua orang yang melihat kejadian ini berlari ketakutan. Anehnya, hamba yang shaleh ini sama sekali tidak kelihatan merasa takut, mengapa? Karena dia yakin bahwa singa juga makhluk dalam genggaman Allah dan sama-sama sedang bertasbih kepada-Nya. Seraya mengajak berbicara layaknya pada makhluk yang bisa diajak bicara, "Mau apa kesini? Kalau tidak ada kewajiban dari Allah dan hanya untuk mengganggu masyarakat, alangkah baiknya engkau pergi". Maka pergilah singa itu, Subhanallah. Demikianlah, orang yang takutnya hanya kepada Allah, makhluk pun tunduk kepadanya. Demikian halnya ketika ada ular di halaman rumah, maka bagi orang yang berakhlak baik dan tidak merasa terganggu oleh kehadiran binatang melata itu, maka dia tidak akan membunuhnya. Sebaliknya, ditolongnya ular tersebut agar bisa kembali ke habitatnya. Itu yang lebih baik. Tetapi jika dirasa menganggu sehingga tidak ada jalan lain kecuali harus dibunuh, maka ia akan membunuhnya dengan cara yang terbaik dan tidak lupa menyebut asma Allah. Jadilah proses membunuh ular ini sebagai ladang amal. Betapa indah pribadi yang penuh dengan pancaran manfaat dan kebaikan. Ia bagai cahaya matahari yang menyinari kegelapan, yang menjadikan tumbuhnya benih-benih, bermekarannya tunas-tunas dan merekahnya bunga-bunga di taman serta menggerakkan roda kehidupan. Demikianlah, cahaya pribadi kita hendaknya mampu menyemangati siapapun, bukan hanya diri kita, tetapi juga orang lain dalam berbuat kebaikan dengan full limpahan energi karunia Allah Azza wa Jalla. Ingatlah, hidup di dunia hanya sekali dan sebentar saja. Maka sudah sepantasnya bila senantiasa memaksimalkan nilai manfaat diri ini sehingga menjadi seperti yang disabdakan Nabi SAW, sebagai khairunnas (sebaik-baik manusia)! Insya Allah. (penulis adalah fungsionaris DPC PK Pesanggrahan, Jakarta Selatan)
Artikel Sebelumnya:
|
|
|
artikel
Senin 19 Februari 2001 07.20 WIBSebuah Pengorbanan oleh AM.Muthohar. Jakarta PeKa Online, Si Amir dengan tersipu malu akhirnya memberikan jatah tempat duduknya di sebuah bus kota setelah sebelumnya diminta oleh seorang ibu yang agak kepayahan berdiri. Lain halnya dengan si Anton yang lebih suka berpura-pura serius membaca bacaan-bacaan islami sambil berleha-leha duduk di dalam sebuah kereta api tanpa melirik sedikitpun beberapa gadis muslimah yang berdiri disekitarnya dikerumuni oleh pemuda-pemuda nakal. Begitu pula si Joko yang sebenarnya tidak bisa memejamkan mata ketika berada dalam sebuah bus mini, mengingat tugas sekolah yang belum ia kerjakan. Tetapi ketika disampingnya melintas seorang kakek tua yang tidak kebagian duduk, secepat kilat ia pura-pura mengantuk tanpa peduli keadaan sang kakek tadi. Kejadian seperti ini sebenarnya tidak dan takkan terulang lagi bagi seorang muslim. Apalagi jika ia sudah bertekad sejak semula akan selalu berada dalam gerbong dakwah. Sampai ajal menjemput. Karena dengan demikian berarti ia siap berkorban apa saja demi mencapai apa yang dikehendaki dakwah. Sedangkan dakwah meminta kita untuk khidmah kepada sesama muslim, bahkan sesama umat manusia. Itulah sebenarnya ciri khas seorang muslim. Tanpa diminta sekalipun ia akan tetap tanggap sasmito -kata orang Jawa- terhadap lingkungan sekitarnya. Dimanapun ia berada. Kita teringat sebuah kisah yang cukup bisa dijadikan sebagai sebuah ibrah yaitu ketika Nabi Musa melihat dua orang gadis berada di tempat yang agak jauh dari kerumunan pemuda. Ketika itu mereka sedang berebut memperoleh timba untuk memberi minum kambing-kambingnya dari sebuah sumur. Setelah mengetahui keadaan kedua putri itu, beranjaklah Musa dari tempat duduknya dan membantu keduanya. Kisah selanjutnya bisa dibaca dalam surat Al Qashash ayat 23 dan seterusnya. Pada hakekatnya inti permasalahan yang ada bukan terletak pada kuat atau lemahnya kondisi tubuh kita. Permasalahan sebenarnya adalah kuat lemahnya kita dalam mengalahkan hawa nafsu dan berkorban (tadh-hiyah) demi kepentingan sesama. Wallahu a'lam.
|
|
|
artikel
Rabu 16 Januari 2001 06.54 WIBSenyum oleh: ES Soepriyadi*) Jakarta PeKa Online, Senyum adalah ekspresi yang menceritakan sebuah kebahagiaan, kesenangan dan ketenangan. Sebuahanugerah yang diberikan kepada siapa saja. Tidakmengenal kelas, status sosial, ras dan warna kulit. Bedanya barangkali terletak pada pemicu senyum bagi masing-masing individu. Bagi petani yang hidup di desa terpencil pada sebuah lereng gunung, mungkin derai dedaunan, rintik hujan atau sekedar tumbuhnya padi yang ia tebar cukup untuk menjadi pemicu sebuah senyuman. Namun bagi manusia-manusia yang hidup di tengah-tengah belantara beton, rintik hujan justeru menjadikan kejengkelan. Ia hanya akan tersenyum bila bisa membeli BMW seri terbaru, atau bisa membeli sebuah villa dengan berbagai fasilitasnya di Puncak sana. Tidak heran jika belakangan senyum menjadi barang yang sangat langka. Jangankan di jalanan antara orang-orang yang belum saling kenal, di kantor antara orang-orang yang telah terjalin sebuah hubunganpun sangat sulit mendapati senyum. Bahkan di rumah, antara keluarga sendiri, senyum amat jarang terlihat. Ini adalah fenomena umum dalam masyarakat yang hidup di kota-kota besar. Masyarakat yang selalu berpacu dengan persaingan materi yang begitu terasa dalam setiap lini kehidupan. Mahalnya senyum inilah yang kemudian memberikan inspirasi bagi para kartunis, untuk berkreasi. Maka lahirlah Tom and Jerry, Donal duck, woody wood pecker. Atau oleh René Goscinny dan Albert Uderzo disulap dalam bentuk asterix, si prajurit kerdil dan konyal.Juga ditangkap oleh Dono Cs dengan Warkopnya, Bagitodengan Basonya, Eko Patrio dengan ngelabanya, Timbuldengan ketoprak humornya. Akan tetapi berbagai upaya tersebut juga belum bisa menggairahkan senyum. Karena senyum yang dihasilkan sifatnya sesaat. Kegagalan kartunis dan para penghibur lainya, sebenarnya lebih disebabkan karena muara dari gejala mahalnya senyum itu sendiri. Jika kita telusuri, maka gejala tersebut sebenarnya bermuara pada satu titik. Yaitu persepsi terhadap kesenangan ( baca nikmat ). Kebanyakan orang yang miskin senyum, selalu mengkaitkan kesenangan dengan keberhasilan yang bersifat materi. Jika demikian, wajar memang jika senyum tersebut akan semakin jarang. Karena jika dihitung selama kita hidup, maka keberhasilan (jika dilihat melalui kaca mata materi ) akan sangat terbatas sekali. Dalam jenjang pendidikan, maksimal hanya 7 kali kita mendapatkan keberhasilan, ketika lulus TK, lulus SD, lulus, SMP, lulus SMU, memperoleh gelar S1, S2 dan S3. Dalam jenjang karir, jika dimulai dari tangga yang paling bawah, pun tidak sampai hitungan 20 untuk sampai pada tanga puncak. Demikian juga dalam dunia politik . Dalam bisnis apalagi, ukurannya sangat tidak jelas. Meskipun biasanya dihitung tiap tahun, namun tetap terkait dengan tahun berikutnya dan begitu seterusnya selama seseorang masih bergelut dalam dunia bisnis. Karenanya jika ukuran ini yang kita pakai dalam melihat kesenangan, bisa dipastikan stok senyum kita akan sangat terbatas. Bisa-bisa tidak sampai hitungan seribu. Disamping ekspresi dari sebuah kebahagiaan, senyum juga merupakan simbol dari rasa syukur. Dimana kata syukur dalam bahasa yang lebih kita fahami adalah "pengakuan dari sebuah kenikmatan". Senyum adalah wujud minimal dari pengakuan itu. Dari senyum maka lahirlah kalimat " alhamdulillah". Dari senyum maka lahirlah rasa berbagi dan lain sebagainya. Jika demikian, maka sebenarnya kita memiliki stok senyum yang tidak terbatas. Karena kita dilingkupi nikmat yang tidak terbatas. Mulai dari bangun tidur hingga tidur lagi, semuanya penuh dengan kenikmatan. Bahkan kesedihan sekalipun. Karenanya ketika istri saya menangis, saya tersenyum dan saya katakan sama istri saya. "Teruskanlah menangis, tapi kalau sudah selesai menangisnya,.. tersenyum ya". Spontan istri saya tersenyum meski masih diiringi isakan, lalu protes,"wong sedih kok disuruh tersenyum". Spontan saya katakan, " Ya harus senyum,...coba kalau ila (panggilan istri saya ) tidak bisa sedih, tidak bisa menangis,... karenanya tersenyumlah ila masih dikaruniai nikmat sedih dan nikmat menangis". Jika kita mampu menangkap segala kenikmatan yang kita rasakan, kenikmatan setiap udara yang kita hirup, setiap tatapan mata kita, setiap pendengaran kita, setiap denyut nadi dan detak jantung kita, setiap tapak kaki yang kita ayunkan, setiap gerakan dari anggota badan kita. Maka hidup kita akan penuh dengan senyum. Lalu kita akan melihat betapa banyak kenikmatan yang kita rasakan. Bahkan kenikmatan itu terasa bertambah dan bertambah setiap kita mengurai sebuah senyuman. Namun jika kita tidak mampu menangkap kenikmatan-kenikmatan tersebut karena kacamata yang kita pakai adalah kacamata import dari dunia matrialisme sana, maka kenikmatan-kenikmatan tersebut akan semakin tidak tampak. Senyum akan semakin tersembunyi, meski hidup bergelimang dengan segenap kemewahan materi. Dada akan terasa sesak dan hidup akan selalu diliputi oleh setumpuk kesempitan dan kesusahan. Inilah sebenarnya yang telah digariskan Allah dalam al-Qur'an: "Jika kalian semua bersyukur maka akan kami tambah, namun jika kalian mengingkari segala nikmat yang telah kami berikan, maka sesungguhnya azabku sangatlah pedih" ( QS. Ibrahim: 7 ).
***
|
|
|
artikel
Ahad 18 Maret 2001 12.11 WIBShort Cut Oleh :ES. Soepriyadi Jakarta PeKa Online, Short cut, sesuai dengan artinya, oleh microsoft kemudian disulap menjadi istilah khusus dalam sistem windowsnya. Sesuai dengan artinya pula, istilah tersebut memang banyak membantu para pengguna komputer. Minimal akan menyingkat pekerjaan. Sebagai contohnya, Disk floppy A. Dengan membuat shortcutnya pada desktop, maka untuk mengakses cukup double click. Tidak perlu lagi membuka my computer, ataupun start, programs file, kemudian windows exsplorer dan barulah bisa membuka flopy A. Demikian halnya dengan seluruh program aplikasi. Semua bisa dibuatkan shortcut sehingga dapat menyingkat waktu dan mempermudah pengguna komputer untuk menjalankan sebuah program. Dengan kemudahan tersebut, maka tak heran bila shortcut menjadi sesuatu yang favorit bagi pengguna komputer. Dalam kehidupan manusia sehari-hari istilah shortcut juga kerap kita dengar. Dalam bahasa Indonesia istilah itu lebih sering disebut dengan "jalan pintas". Sekilas istilah ini mempunyai fungsi yang hampir sama dengan shortcut dalam komputer yaitu mencapai tujuan dengan cepat. Namun jika diamati, keduanya sungguh jauh berbeda. Perbedaannya terletak pada aspek legal formal. Semua shortcut yang ada pada sistem windows sifatnya legal. Anda tidak akan pernah mendapatkan warning " In illegal operation" jika membuka sebuah program melalui shortcutnya. Berbeda dengan shortcut yang ada dalam kehidupan nyata, tak satupun jalan pintas yang bersifat legal. Mencuri, merampok, memperkosa, menyuap, menkonsumsi narkotika dan berbagai perbuatan senada adalah bentuk dari shortcut-shortcut yang ada dalam kehidupan manusia. Mereka yang ingin kaya mendadak biasanya memilih jalan pintas dengan mencuri, merampok, korupsi atau ada juga yang berjudi. Bagi yang ingin mendapatkan ketenangan biasanya memilih jalan pintas melalui narkoba. Bagi yang ingin selamat dari jerat hukum atau ingin mendapatkan satu kedudukan biasanya memilih shortcut dengan menyuap. Maka tidak heran jika istilah jalan pintas kemudian lebih sering disebut masyarakat dengan nada sinis, atau minimal dengan berbisik. Meskipun sifatnya illegal, ternyata banyak juga orang yang melaluinya. Hal ini terjadi karena banyak orang yang tidak sabar untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Meskipun demikian, tidak semua shortcut dalam kehidupan nyata bersifat illegal. Ada satu jalan pintas yang bukan saja legal tetapi sangat legal. Shortcut tersebut bukan sekedar untuk menuju pada kesenangan semu dan sesaat. Bukan sekedar untuk mendapatkan kekayaan, pangkat ataupun kedudukan yang cepat atau lambat akan sirna. Shortcut yang bersifat sangat legal tersebut menjanjikan siapa saja yang melaluinya untuk mendapatkan sesuatu yang paling besar, dan kekal selamanya. Sesuatu itu adalah surga. Siapapun tentunya ingin mendapatkanya. Namun jalan yang harus ditempuh untuk mendapatkannya panjang dan berliku. Disamping itu, jalan yang ditempuh itupun tidak menjamin bisa mendapatkannya. Sholat, zakat, puasa, haji dan sederet ibadah lainya tidak menjamin 100% bagi pelakunya untuk mendapatkan surga. Realita inilah yang diisyaratkan Rasulullah bahwa, "Seseorang tidak akan masuk surga karena amalnya". Namun demikian, sebagaimana yang telah disebutkan dimuka, jalan panjang dan berliku tersebut bisa dipangkas dengan sebuah shortcut. Jalan pintas itu adalah syahid. Siapapun yang mendapatkan syahid, maka secara otomatis segala dosanya akan diampuni. Dengan demikian surgapun telah menantinya. (Hadits Riwayat Ibnu Majah). Realita inilah yang dipahami betul oleh para sahabat RA, termasuk Handhalah yang rela meninggalkan manisnya "madu" yang tengah direguknya. Mereka paham betul bahwa syahidlah satu-satunya shortcut yang bisa memotong jalan panjang dan berliku plus ketidakpastian untuk mendapatkan surga. Karena itu pula kemudian sangat wajar jika ada beberapa kalangan yang menjadikan syahid sebagai cita-citanya yang tertinggi. Wallahu'alam.
*** (penulis adalah kader Partai Keadilan Ciputat)
|
|
|
artikel
Senin 22 Januari 2001 08.02 WIBSatu Sore Di Mall Pondok Indah oleh: ES Soepriyadi*) Jakarta PeKa Online, "Ada nggak di sini makanan yang enak dan mengenyangkan", tanya seorang kawan yang sore itu mengajak jalan-jalan di Mall Pondok Indah (MPI). Dengan nada canda kemudian saya berkomentar," Kalau makananmengenyangkan ya.. sana ke warteg". Karena sejak awal nawaitunya di MPI, maka usaha mengganjal perut sore itu tetap diteruskan di MPI. Saya dan dua kawan lainnya akhirnya menelusuri lantai 3. Tetapi bukannya membeli, justru kami bak pejabat yang melakukan sidak ( inspeksi mendadak ). Karena hanya berjalan dan terus berjalan di depan puluhan deretan gerai makanan. Mulai dari bakmi GM, Café Ola-la, Pondok Spagheti, Wendys,Pronto, Pizza Hutt, Hoka Bento, dan sederetan nama lainya yang kental dengan warna import. Ujung-ujungnya kamipun kembali lagi. Para pelayan yang tadinya selalu berhias senyum serta mengucapkan " Sore,..Silahkan Pak" pun terbengong-bengong. Kenyataannya bukan mereka saja yang bingung. Kami juga dihinggapi perasaan yang sama. " Mau makan apa,.?", begitulah pertanyaan yang memenuhi kepala kami. Dengan segala kebingungan, kamipun memutuskan untuk menempatkan pilihan pada makanan yang masih kental dengan nuansa tanah air, Pondok Ikan Patin. Ada realita yang cukup menarik yang saya temui dalam "sidak" tersebut. Bahwa masih banyak masyarakat Indonesia yang mampu merogoh kocek puluhan bahkan ratusan ribu untuk sekedar sekali makan. Anda tentunya bisa membayangkan berapa harga sepiring nasi di tempat-tempat sekelas MPI dan yang lebih elit lagi, jika satu gelas ( ukuran 200 ml) orange juice dihargai mendekati angka Rp. 10.000,00 (sepuluh ribu). Untuk membuktikan apa yang saya katakan, cobalah anda sekali-kali jalan di Ground Floor Blok M Plaza, Ground Floor Pasar Raya Blok M, PMI, Mall Taman Anggrek, Lippo Karaawaci atau tempat-tempat sekelas Sizler, Hoka Bento, MD dan lain sebagainya. Maka anda akan mendapati tempat-tempat seperti ini tidak pernah sepi dari pembeli. Bahkan bisa dibilang antri. Dari fenomena ini bisa ditarik pada satu kesimpulan bahwa INDONESIA TIDAK SEDANG DILANDA KRISIS. Tetapi jika kita kembali menoleh kebelakang, beberapa bulan yang lalu ketika pemerintah mengumumkan kenaikan BBM, kita seolah dihadapkan pada sebuah realita betapa krisis telah mencapai puncaknya. Masyarakat panik. Harga-harga merambat naik, bahkan lebih cepat dan lebih tinggi dari kenaikan BBM. Demonstrasi terjadi di mana-mana. Di Sulawesi misalnya,ratusan mahasiswa menggelar pentas jalanan. Dengantelanjang dada dan muka yang coreng moreng merekamenggambarkan betapa masyarakat kecil telah mengalamikelaparan hingga pada titik ambang batas. Tidak dipungkiri memang, bahwa kenaikan BBM membawa dampak buruk bagi masyarakat yang tanpa kenaikan BBM-pun hidupnya sudah susah. Namun kenyataanya yang panik dilapangan bukan mereka saja. Bahkan jerit mereka justeru tidak terdengar karena terhalang oleh pekik dan teriakan para demonstran yang nota bene masyarakat menengah ke atas. Terlepas apakah para demonstran betul-betul meneriakkan suara rakyat yang tidak bisa makan atau hanya meminjam baju orang-orang yang tidak bisa makan untuk menutupi ketakutanya, yang pasti dua realita diatas bisa menunjukkan bahwa betapa penyakit wahn telah mendominasi sebagian masyarakat kita. Para produsen dan para pedagang, mereka ketakutan jika keuntunganya berkurang. Lalu produk dan dagangannyapun dinaikkan. Jika kenaikannya berbanding lurus dengan kenaikan BBM, mungkin masih bisa difahami. Namun tak jarang mereka mengambil keuntungan lebih. Masyarakat kelas atas, mereka ketakutan jika kenikmatan yang selama ini mereka rasakan berkurang. Takut tidak bisa nongkrong di bar lagi, tidak bisa menikmati lopster lagi, tidak bisa menghabiskan akhir pekanya di hotel berbintang lagi. Masyarakat menengah, mereka takut tidak bisa beli baso lagi, tidak bisa makan telur lagi dan lain sebagainya. Ini semua karena kecintaan terhadap dunia yang berlebihan sehingga tidak siap jika apa yang selama ini dimiliki dan dinikmati berkurang, meskipun hanya secuil. Dalam kondisi seperti ini, akhirnya kita menjadi pasar yang potensial bagi mesin-mesin materialisme yang dimotori oleh Amerika. Ujung-ujungnya kita kemudian sangat bergantung dengan semua yang berbau luar negeri dan puncaknya Amerika. Bahkaan meminjam istilah Gede Prama, saat ini kita tengah dihipnotis oleh Amerika. Kita menikmati hipnotis itu, bahkan takut jika tidak dihipnotis lagi. Lihatlah beberapa waktu lalu, betapa kita dijangkiti rasa takut yang luar biasa ketika Amerika mengancam akan menghentikan hipnotisnya (baca embargo). Akhirnya kita tak lebih dari si cepot (tokoh wayang) yang dengan mudahnya kang Asep Sunarya (dalang kondang) memainkannya. Ini semua adalah indikasi bahwa kini kita tengah menuai buah dari penyakit wahn yang telah bercokol di hati kita. Penyakit inilah yang telah lama diisyaratkan Rasulullah SAW dalam sebuah haditsnya berikut ini: "Suatu saat kalian semua akan menjadi bulan-bulanan umat lain, sebagaimana mereka menghadapi seonggok makanan". Para sahabat kemudian bertanya, "Apakah karena kita saat itu sedikit?,."Tidak," jawab Rasulullah, pada saat itu jumlah kalian sangat banyak,akan tetapi kalian hanyalah buih, seperti buih banjir. Pada saat itu Allah akan menanamkan penyakit wahn dalam diri kalian". Para Sahabatpun pertanya," Apakah Wahn itu ya Rasulullah?,.."Cinta dunia dan takut mati" jelas Rasulullah. (HR. Abu Daud ).
***
|
|
|
artikel
Rabu 28 Maret 2001 17.03 WIBSuperman Oleh: ES. Soepriyadi Jakarta PeKa Online Superman, manusia perkasa dari planet crypton adalah sosok yang dikenal masyarakat luas, baik dikalangan anak-anak maupun orang dewasa. Wajar, karena kehebatan superman belum ada yang menandingi. Apapun masalah yang terjadi, berapapun musuh yang menyerangnya, semuanya bisa dihadapi dalam waktu singkat. Patung liberty yang hampir roboh dapat ia tegakkan dengan hanya mendorongnya. Pesawat yang oleng dan hendak menabrak gedung putih dengan mudah dibelokkan ke atas yaitu dengan menjadikan dadanya sebagai tameng. Masih banyak kejadian lain yang sebenarnya diluar jangkauan manusia. Karena superman juga diluar kehidupan riil manusia. Ia hanyalah khayalan !. Sayangnya, entah terinspirasi oleh superman, atau sebab lainnya, banyak masyarakat kita yang berlagak seperti superman. Saya paling hebat, saya paling berkuasa, saya paling bijaksana, dan paling paling lainnya. Dari sikap inilah akhirnya tercipta satu masyarakat yang susah bekerja sama. Jika ini yang terjadi maka jangan harap akan ada hasil kongkrit yang bisa dicapai. Segala angan-angan dan rancangan yang muluk-muluk hanya akan berada dalam alam khayal, seperti halnya superman yang berada dalam alam khayal. Bank-bank yang menjamur di tanah air, adalah jelmaan dari rasa super di atas. Endingnya bisa ditebak, lihatlah entah berapa bank yang sudah dilikuidasi. Ada lagi contoh lain, dan semoga ini bukan penjelmaan dari sindrom superman, menjamurnya dompet sosial. Kita temui Dompet dhu’afa, PKPU, DSUQ, PSDT, dan berbagai dompet-dompet lainnya. Jika antara dompet-dompet ini tidak ada kerjasama yang kongkrit, maka saya yakin bahwa ini adalah jelmaan dari sindrom superman. Anda tentu bisa menebak apa yang akan terjadi selanjutnya. Tujuan untuk mensejahterakan umat tidak akan pernah terwujud, sebagaimana superman juga tidak pernah terwujud. Hebatnya, manusia-manusia yang lahir bersama superman, yang besar dengan superman, yang tinggal bersama superman tidak pernah tertular sindrom superman. Tapi mereka justru menjadi manusia yang oleh seorang teman diistilahkan dengan superteam. Tim yang super. Wajar jika akhirnya mereka mampu menciptakan sesuatu yang melebihi kemampuan superman. Maka terciptalah perusahaan sowftware raksasa, terciptalah perusahaan minuman raksasa dan bahkan menggurita, dan berbagai raksasa-raksasa lainya. Ma’af, bukan berarti saya membanggakan mereka, namun lebih pada ibrah yang bisa kita ambil dari mereka. Kita sebenarnya mampu menciptakan raksasa-raksasa yang lebih raksasa. Ini telah kita (baca umat Islam) buktikan, jauh sebelum mereka mampu membuat raksasa. Maka terbentuklah negara raksasa, kekuasaannya meliputi Afrika, Asia dan bahkan sebagian Eropa. Hal ini karena sebenarnya konsep superteam tersebut adalah milik kita. Tidak percaya?,.. Bukalah Al-Qur’an, kemudian cari ayat yang menyebut " Ya ayuhalladzi amana" (wahai orang yang beriman), pasti anda tidak akan menemukan. Tetapi cobalah cari ayat yang menyebutkan "Ya ayuhalladzina amanuu" (wahai orang-orang yang beriman). Ini adalah isyarat bahwa superteam menjadi suatu keharusan. Untuk lebih jelasnya, bacalah ayat berikut: "Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur ( silahkan anda baca "dalam superteam" ) seakan-akan mereka seperti satu bangunan yang tersusun kokoh" ( QS. Ash-Shof: 4 ). (penulis adalah Kader Partai Keadilan Ciputat)
|
|
|
artikel
Rabu 31 Januari 2001 07.07 WIBSurat Cinta oleh ES.Soepriyadi Jakarta PeKa Online, Jika anak anda mulai puitis, maka fahamilah bahwa benih-benih asmara mulai bersemi di hati. Mengalir melalui darah dan nadi, lalu menggerakkan otot dan jemari tangan untuk menggoreskan tinta di atas kertas khusus. Merangkai kata demi kata hingga berbaris indah dan berhias bunga bak tulisan seorang pujangga. Begitulah jika cinta mulai menyapa. Demikian halnya orang yang menerima bingkisan indah mutiara-mutiara kata tersebut. Ia akan terus membacanya. Sekali, dua kali, tiga kali. Bahkan mungkin sepuluh kali. Tak peduli lampu padam karena listrik mati. Ia hidupkan lilin untuk sekedar bisa membacanya kembali. Tidak ada lampu listrik, lilinpun jadi. Kata demi kata dibaca dengan penuh perasaan dan perhatian. Jika ada kata atau kalimat yang kurang dipahami maksudnya,… maka ia akan terus membaca hingga yakin betul apa yang tersirat, meski harus membacanya seribu kali. Begitulah sepenggal kisah cinta dua manusia yang kadang hanya fatamorgana belaka. Lain halnya dengan kisah cinta sang pencipta dengan ciptaannya yang bernama manusia. Allah begitu cinta, sayang dan sayang sekali padanya. Kecintaan tersebut diwujudkan dalam bentuk nikmat yang tidak terhingga dan puncaknya adalah "surat cinta" ( baca al-Qur’an ). Surat tersebut bukanlah sekedar rangkaian kata-kata murahan yang bisa diperjualbelikan di pasar. Namun untaian kata-kata yang tinggi yang tidak bisa ditandingi oleh siapapun, meski hanya membuat tandingan bagi satu suratnya yang terpendek sekalipun. Untaian kata-kata yang penuh makna. Penuh rambu-rambu, penuh petunjuk dan berbagai aturan lainnya demi kebaikan dan keselamatan kekasihnya. Akan tetapi ungkapan cinta yang begitu dalam, tidak mendapatkan respon yang setimpal. Diantara mereka ada yang mencampakkan surat-surat tersebut. Ada yang mengakui namun tidak mau membacanya terlebih mempelajari. Diantara mereka ada yang selalu membacanya namun tidak mengindahkan pesan-pesan yang ada di dalamnya dalam kehidupannya sehari-hari. Sekalipun demikian Allah tetap sayang pada hamba-Nya. Tidak seperti manusia, yang mungkin akan memutuskan hubungan cintanya, begitu surat cintanya tidak pernah dibalas. Namun tidak demikian dengan Allah. Ia tetap memberi kesempatan-kesempatan dan kesempatan sambil terus memberikan berbagai kenikmatan hingga ajal menjumpai kita. Realita ini diisyaratkan Allah dalam Surat Yunus 11: " Dan kalau sekiranya Allah menyegerakan kejahatan bagi manusia seperti permintaan mereka untuk menyegerakan kebaikan (kesenangan) pastilah diakhiri umur mereka,… (penulis adalah Kader Partai Keadilan Ciputat)
|
|
|
artikel
Senin 15 Januari 2001 07.11 WIBT a h u n B a r u Oleh : A. Nandang Burhanudin, Lc “Tidak ada satu hari pun dimana sang fajar masih terbit menyingsing kecuali ia berkata; Wahai anak Adam (manusia), aku adalah makhluk baru dan atas semua amalanmu menjadi saksi. Maka jadikanlah aku sebagai bekal. Sebab jika aku berlalu, aku tidak akan kembali lagi hingga hari kiamat” (Imam Hasan Bashri) Jakarta PeKa Online, Pelatuk awal tahun 2001 berdentang menyisihkan tahun 2000 yang telah jadi kenangan. Manusia seantero negri berpesta pora menyambut awal milenium dengan sejumput harapan lebih baik dalam strata, keadaan, kondisi sosial, nasib, dan nostalgia tentunya. Terlebih bagi kita umat Islam, tahun baru kali ini bertepatan dengan berakhirnya bulan Ramadhan dan ‘Idul Fitri Mubarak. Fase-fase waktu yang telah dikodratkan Allah Swt. Memang hitungan tahun sekarang ibarat hitungan hari. Terus makin hari makin bisa dihitung jemari. Tak terasa kemarin rasanya kita baru bertahun baru. Bernostalgia dengan angan- angan dan cita-cita yang dulu menjadi program. Mungkin sebagian telah jadi kenyataan dan sebagian lagi terpuruk terhapus debu jalanan. Semua tak ada yang bisa meraba, menerka, dan memastikan. Hanya takdir Sang Esa yang akhirnya jadi pemenang. Tak jarang semakin cepatnya rotasi roda jaman membuat kita terkurung dalam “neraka bimbang dan neraka kebingungan”. Bimbang mengingat kualitas diri dan kualitas da’wi yang tak beranjak dari garis start, satu dua tahun lalu. Bingung memperhatikan nasib umat di seluruh belahan dunia yang terkungkung dalam multikrisis yang nista. Muslimin yang minoritas ditindas, dibantai, dibombardir mortir, dan dihujani rudal dari berbagai penjuru. Di negri dimana muslim mayoritas dan Islam secara konstitusi merupakan sumber syariat, nasib kaum muslimin menjadi pengisi rutin penjara bawah tanah dengan beragam siksaan yang tidak dibenarkan HAM manapun. Sedang di negri dimana muslim mayoritas namun dengan konstitusi sekuler, nasib umat Islam tak lebih baik. Mereka dimarjinalkan dalam “neraka nurani” yang menyayat hati. Ya neraka nurani, sebab lawan dari apa yang ia perjuangkan adalah kawan sendiri yang berlabel Kiyai, Gus, dan sebagainya. “Demikian kehidupan tahun 2000 mengajari kita”, sebagai ibtila siapa diantara kita yang mampu tegak menghadapi kebimbangan dan tuntutan perjuangan. Sekarang tahun baru telah kita jelang bersama. Hanya kita yang bermental penakut yang akan lari dari realitas yang ada. Semoga tahun baru bagi kita adalah seperti yang dipesankan Imam Hasan Al-Banna; “Tahun Baru … Umat Baru … Umat Baru … Baru … dimana hatinya semakin suci, bersih, putih dengan dihiasi cahaya iman dan keyakinan. Baru … dimana akalnya disinari ajaran- ajaran al-Quran dan hidayah Rabbul ‘Alamin. Baru … dimana cita-cita, harapannya tidak dikooptasi oleh egoisme, namun selalu konsisten dengan ruh dan misi pembawa kebaikan dan kebahagiaan bagi manusia semesta alam. Baru … dalam wasilah dakwah yang jelas, terang, adil, penuh kasih sayang yang dimulai dengan hikmah, mau’idzah hasanah, dan diakhiri dengan objektivisme, rasa keadilan, rahmah, sambil menunggu buah yang akan diraih. Sesuai firman Allah Swt Surat al- Qashas ayat 83: Itulah rumah akhirat yang akan Kami jadikan bagi orang- orang yang tidak menginginkan kesombongan dan kerusakan di muka bumi, dan akibat baik hanyalah bagi orang-orang yang bertakwa” Tahun Baru, menanti kelahiran umat baru. Umat yang memiliki nuansa baru dalam segala segmen kehidupan. Semangat baru, cita-cita baru dengan perjuangan baru. Umat yang mampu menjadikan hari ini sebagai bekal masa depan dengan landasan masa lalu yang senantiasa menjadi pelajaran. Umat baru, dengan karakteristik tidak banyak berkata tapi banyak berkarya. Mungkin diantara kita masih teringat pesan moral tentang kebangkitan Islam dimulai tahun 1415 H. Sekarang kita akan memasuki tahun 1422 H. Bahkan ada yang memprediksikan kebangkitan itu akan bangkit di negara Asia. Artinya telah 7 tahun kita melewati suatu masa titik tolak kebangkitan Islam. Dus kita juga tinggal di belahan negara Asia. Pertanyaannya, kebangkitan apa yang telah kita rasakan –paling tidak—dalam tatanan individu dan masyarakat??? Memang madzahir kebangkitan sama-sama bisa kita raba dan rasakan. Namun kita sadari juga kebangkitan belum menyentuh tatanan jawahir (subtansi). Sekali lagi kita mengevaluasi diri. Evaluasi dari misi hidup kita yang terlanjur menyatakan diri sebagai da’i. Da’i ilallah bukan ila partai, golongan, organisasi, atau kepentingan pribadi. Semoga. Wallahu’alam.
*** (*Penulis adalah anggota SINAI (Studi Informasi Alam Islami), tinggal di Kairo)
|
|
|
artikel
Rabu 10 Januari 2001 06.21 WIBUang Baru oleh: ES Soepriyadi*) Jakarta PeKa Online, Beberapa waktu yang lalu, di sebuah bank swasta, terpampang sebuah pengumuman. Tak ada yang istimewa dalam pengumuman tersebut. Hingga lalu-lalang nasabah tidak terpancing untuk meliriknya, termasuk saya. Meskipun demikian, sekilas saya menangkap bahwa pengumuman tadi adalah perihal uang baru. Dua hari berikutnya, tepatnya jam 21.00 isteri saya iseng, pengen mie, katanya. Pucuk dicinta ulam tiba. Usai mengatakan apa yang diinginkan, si tukang mie dengan bunyi kletekan hasnya, lewat depan rumah. Namun karena ia disibukkan dengan si kecil yang mulai mengantuk, maka sayapun meneruskan keinginannya. Tak lama kemudian terdengar bunyi kletekan sekali lagi, tanda mie sudah siap saji. Segera kuhampiri, "Berapa bang?" . "Tiga ribu", katanya. Segera kusodorkan uang lima ribuan. Namun ia menggeleng, "Ma'af pak nggak ada kembalian bisiknya". Sayapun masuk rumah , untuk mencari recehan. Sayang satupun tak ditemukan. Maka buru-buru saya kembali dan menyuruh mengambil saja kembaliannya. Karena merasa tidak enak, iapun memeriksa dompetnya, dengan penuhhati-hati. Tak lama kemudian ia mengeluarkan dua lembar kertas yang kelihatan masih baru dan sangat rapi. "Ma'af pak,... ada ternyata", ucapnya sambil menyodorkan lembaran tersebut, sementara dua matanya mengisyaratkan keengganan. Begitu saya menerimalembaran tersebut, saya kembali teringat pengumuman yang saya lihat dua hari lalu. Tepat jam 00.00 wib. saya dijemput remaja sebuah masjid, untuk memberikan muhasabah. Usai acara, saya kembali diantar pulang. Namun karena jalanan macet, terhalang pedagang pasar yang menutup sebagaian besar ruas jalan, maka sayapun memutuskan untuk turun di jalan. Karena waktu sahur tinggal beberapa menit, kemudian saya putuskan untuk sahur di rumah kawan. Untuk menuju ke tempatnya saya sengaja naik angkot, denganterlebih dulu saya harus berjalan kaki melewati pedagang pasar yang berjubel. Sesampai ditempat tujuan kusodorkan uang ribuan yang sebelumnya saya dapatkan dari abang mie. Dengan kedua tanganya, dan dibantu lampu yang ada di atas, ia mengamati lembaran yang mempunyai nilai nominal 1000 dan bergambarkan kapitenPatimura itu. Ia kemudian menolak secara halus. Mungkin ia ragu. Sehari kemudian, ketika saya hendak mudik ke Jawa Timur, saya dikejutkan oleh fenomena yang cukup menarik. Puluhan calon penumpang Bis berjubel. Anehnyakerumunan tersebut tidak di loket dan tak satupun calo tiket terlihat disana. Merasa penasaran, akhirnya saya ikut mimbrung. Ternyata mereka berkerumun untuk mendapatkan uang 1000-an baru. Untuk memperoleh 10 lembar uang baru ( Rp.10.000 ) mereka harus menggantinya dengan Rp. 11.500. Padahal diantara mereka banyak yang meminta seratus lembar sekaligus. Artinya mereka harus menukarnya dengan Rp. 115.000. Kejadian ini bagi saya begitu unik, bukan dari sisi ribanya. Namun dari sisi perilaku masyarakat kita yang sudah miring. Minimal mereka sama dengan anak sayayang belum genap empat tahun. Anak saya pernah merengek di Mall meminta dibelikan baju baru. Berbagaialasan kuutarakan. Termasuk menjelaskan bahwa baju yang dipakainya masih baru dan kualitasnya jauh lebih bagus. Namun berbagai penjelasan tersebut tidakmenggoyahkanya, ia tetap memakai jurus, pokoknya. Perilaku anak saya ini wajar, karena ia belum tahu kualitas. Ia baru bisa membedakan baru dan usang. Baginya setiap yang belum pernah dilihat, belum pernah dipakai, belum pernah dipegang, itulah baru. Tidak peduli dengan kualitasnya. Setelah kejadian diatas, saya kemudian teringat bahwa sindrom uang baru ini bukanlah hal yang baru, karena telah lama masyarakat kita memang senang dengan hal-hal baru. Baju baru, rumah baru, mobil baru, tahun baru dan seterusnya. Pokoknya senang, tanpa esensi, tanpa komitmen,yang penting baru. Saya kemudian ketar-ketir dan sangat khawatir, kalau sindrom itu tidak terbatas sampai disitu. Tapi merambah ke berbagai lini kehidupan. Misalnya senang terhadap istri baru, aqidah baru, agama baru, atau Tuhan baru. Na'udzu billahi mindzalik. Tetapi kalau presiden baru, untuk saat ini bolehlah.
***
|
|
|
artikel
Kamis 25 Januari 2001 07.38 WIBMenyoroti Peran Ulama (1) Ummat Dituntut Kritis Menilai Ulama Oleh: H Rokib Abdul Kadir Lc*) Jakarta PeKa Online, Sebutan ulama saat ini mengalami degradasi makna. Pada kasus Ajinomoto yang masih hangat dibicarakan, pernyataan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengan mudahnya dinegasikan oleh pernyataan presiden yang juga menyandang predikat "ulama". Ulama versus "ulama". Karena itu sudah saatnya ummat berlaku kritis terhadap sebutan ulama bagi seseorang. Ulama adalah cahaya umat sepanjang zaman. Ia adalah sebutan untuk sekelompok kecil dari umat ini yang menempati posisi-posisi kunci dalam tataran ideologis, intelektual, dan sebagai rujukan akhir dalam mengambil solusi terhadap permasalahan kehidupan. Sosok tegas ulama legendaris Hasan Al Bashri yang dihadapan khalifah Malik bin Marwan yang menyatakan: "Barang siapa berani mengkritikku dengan perkataan 'takutlah kepada Allah' akan kupenggal lehernya" (Shubky, Dilema Ulama, GIP 1995, Jakarta) adalah satu diantara rentetan nama harum ulama-ulama sepanjang sejarah peradaban Islam. Kita mengenal juga Imam Ahmad bin Hanbal yang lebih dikenal sebagai Imam Hambali, yang begitu tegar berlawanan arus dengan suara kezhaliman penguasa saat itu. Di Indonesia ada Prof Dr Buya Hamka yang harus mengalami isolasi penguasa karena menyatakan haramnya natal bersama, dan Muhammad Natsir yang sampai akhir hayatnya dicekal oleh penguasa orde baru untuk menerima gelar Doktor Honoris Causa dari sebuah perguruan tinggi di Malaysia. Mereka bagaimanapun akan selalu hidup di hati umat sebagai sosok yang tegar menyampaikan kebenaran meskipun harus membayarnya dengan penderitaan dunia yang berkepanjangan. Semoga Allah SWT memberikan pahala yang sesuai dengan ke-istiqomah-an mereka. Ketika negara berada dalam kondisi yang penuh masalah akhir-akhir ini, umat islam pada awalnya menaruh harapan yang besar dari tampilnya seorang pemimpin bangsa yang oleh sebagian kalangan mendapatkan sebutan "ulama". Apalagi pimpinan dari berbagai lembaga tinggi di negara ini merupakan presentasi dari ormas-ormas islam terbesar di Indonesia. MPR dipimpin oleh seorang mantan pimpinan Muhammadiyyah, DPR dikomandani olah mantan Pimpinan PB HMI dan presiden dijabat oleh mantan ketua Nahdlatul Ulama. Dengan latar belakang yang demikian semestinya umat islam Indonesia saat ini mendapatkan kesejukan dan kedamaian hidup dibawah kepemimpinan mereka. Namun perjalanan pemerintahan saat ini mengajak kita untuk kembali mendalami makna ulama yang dimaksud dalam berbagai nash Al Quran maupun hadist. Seperti apakah profil ulama yang dimaksud oleh Allah SWT dan digambarkan oleh Rasulullah SAW? Sudahkah kita memberikan predikat tersebut kepada orang yang memang pantas mendapatkannya? Sementara Rasulullah SAW sudah memberikan peringatan bahwa jika sebuah perkara diberikan kepada orang yang tidak pantas melaksanakannya maka tunggulah saat kehancurannya. Peran ulama dalam pentas kehidupan dewasa ini tercakup dalam dua sisi yang tidak terpisahkan. Terhadap umat ia menjadi tempat rujukan atas berbagai problematika dalam segala bidang kehidupan, dan terhadap umara' (pemerintah) ia sebagai supervisor yang berkewajiban memberi peringatan ketika terjadi penyimpangan. Kedua fungsi ini harus berjalan sejajar agar kehidupan bermasyarakat dapat berjalan sesuai dengan tuntunan ilahiyah, yang pada akhirnya akan membawa segenap bangsa kepada keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. (bersambung…)
*** (Anggota DPR-RI Asal Partai Keadilan (ADAPK))
|
|